Cinta karena Allah

0 0 0
                                    

Imam Ahmad pernah ditanya bagaimana bentuk cinta kepada orang lain karena Allah. Beliau menjawab, "engkau mencintai seseorang bukan karena menginginkan dunianya."

Thobaqot al-Hanabilah 56/1

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsamin mengatakan: "landasan dari semua amalan adalah mahabbah (cinta). Seseorang tidak melakukan sesuatu kecuali karena sesuatu yang ia cintai. Baik untuk mencari suatu manfaat, atau untuk mencegah suatu bahaya baginya. Ketika ia melakukan suatu amalan, bisa jadi ia mencintai amalan tersebut secara dzatnya, seperti aktifitas makan. Seseorang makan karena ia suka pada makanan tersebut. Atau bisa jadi bukan pada dzatnya, semisal aktifitas berobat. Seseorang tidak menyukai berobat atau minum obat, namun ia lakukan karena hal lain yaitu karena cinta pada kesehatan tubuhnya.

Dan ibadah kepada Allah itu dilandasi di atas cinta, bahkan itulah hakikat dari ibadah. Ketika anda beribadah tanpa cinta maka ibadah anda hanya sekedar kulit yang tidak ada ruh di dalamnya. Jika seorang hamba dalam hatinya terdapat rasa cinta kepada Allah dan rasa cinta untuk menggapai surga-Nya, maka ia akan menjalani jalan yang benar untuk menggapai hal itu." [Al Qaulul Mufid ala Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsamin, 2/44].

Apakah cinta itu harus berakhir dengan berdampingan? Atau tidak mesti bersama untuk dikatakan itu sebagai cinta karena Allah?

Maka sejatinya, bersama atau tidaknya seseorang dengan orang yang ia cintai bukanlah jaminan itu cinta karena Allah. Karena cinta karena Allah apabila ia mengerti bahwa Allah adalah tujuan dari semua ketetapan dalam hidupnya, baik bersama ataupun dipisahkan.

Ada orang yang bersama hingga akhir hayat, tapi tujuan cinta yang ia bangun hanya untuk dunia, harta, tahta ataupun fisik.

Ada yang terpisah karena memaksa perpisahan, sebab tak lagi ingin melanjutkan komitmen hati yang ia bangun, disebakan cinta yang ia mulai bukan rena Allah, dan ia tidak bertahan lama.

Lalu bagaimana cinta itu utuh hingga berakhir di hadapanNya?

Apabila cinta yang dibangun itu selalu mendekatkan diri kepada Allah, maka sejatinya itulah sebuah jalan yang mulia dari kesepakatan membangun cinta. Seseorang yang tersadar bahwa semua solusi dari masalah-masalah hidup ini adalah Allah, luka dari manusia akan sembuh seiring waktu berjalan karena Allah dan apapun yang terjadi disandarkan hanya kepada Allah, maka pada akhirnya sumber ketenangan akan menghiasi hatinya disebakan penerimaan atas takdir Allah.

Karena semua yang Allah takdirkan bagi seseorang tentu yang terbaik, hanya saja terkadang ia merusak jalan yang Allah tetapkan dengan keegoisan. Ia memaksakan dirinya untuk unggul dan terlihat baik agar ia terpandang, padahal Allah merendahkannya.

Cinta itu ruh dari sebuah amalan, apabila ia baik didasarkan kepada Allah, maka ia akan menemui jalan yang baik pula. Sebaliknya apabila ia didasarkan kepada kedustaan, maka ia bertopeng dan tabirnya akan dibuka dengan kehinaan.

Dari Habib bin 'Ubaid, dari Miqdam ibnu Ma'dy Kariba -dan Habib menjumpai Miqdam ibnu Ma'di Kariba-, ia berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَحَبَّ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُعْلِمْهُ أَنَّهُ أَحَبَّهُ

"Jika salah seorang di antara kalian mencintai saudaranya hendaklah dia memberitahu saudaranya itu bahwa dia mencintainya." (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 421/542, shahih kata Syaikh Al Albani)

Semua butuh dibuktikan, semua butuh pembuktian. Agar apa yang dijanjikan mampu tumbuh dengan keyakinan. Bukan sekedar berkata cinta, tapi bukti mendampingi kehidupannya dengan kepastian. Ini bukti seorang laki-laki kepada seorang perempuan.

Semoga kita mampu merealisasikan cinta dengan tepat, kepada orang yang tepat dan karena Allah.















Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menyelami Nikmatnya Jalan Pulang, MenujuNyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang