Chapter 7 : First Raid

92 6 5
                                    

"Selamat pagi, Zack."

Sebuah suara manis hinggap pada pendengaran Zack bersamaan dengan teriknya mentari pagi menerpa matanya. Dihadapannya telah terduduk seorang wanita cantik yang terbalut oleh jubah mandi berwarna putih milik Zack. "Sarapannya sudah siap."

"Oh-tentu. Tunggu sebentar," ditariknya selimut putih yang menutupi sebagiannya tubuhnya untuk berdiri. "Bagaimana keadaanmu?" tanyanya pelan. Wanita manis itu tersenyum simpul, seakan jawabannya terdapat pada senyumannya itu. "Cukup baik. Bagaimana denganmu?"

Zack tersenyum kikuk saat Alice menanyakan keadaannya yang tak cukup baik-karena ada beberapa luka cakaran yang berbekas ditubuh bagian belakangnya. "Ya.. Kurasa akan membaik." Alice berhenti tepat diambang pintu kamar mandi ketika Zack masuk kedalam showerbox dengan luka cakar yang cukup serius. "Hey, tunggu, apa luka ini-?"

"Sudah," Zack menepuk pundak wanita tersebut tenang. "Bisa kuatasi."

Hela napas Alice memberat. Dengan paksa, ia menunjuk pantulan luka yang berada pada cermin disamping kedua tubuh mereka. "See? Aku tak yakin jika kau bisa mengatasi luka ini,". Luka tersebut terdapat pada setiap bagian punggung Zack yang mulus, bahkan masih ada darah segar yang keluar dari bekas cakaran Alice yang liar. "Maafkan aku."

Tak sempat Zack menjawab, Alice meraih segenggam air-yang membuat Zack aneh karena air tersebut tak menetes-pada bathtub dan menutup matanya seraya membaca mantra yang telah Zack dengar saat ia tengah batuk keras karena rokok yang ia hisap beberapa waktu yang lalu. "Alice?"

"Tidak akan memakan waktu yang lama," jawabnya singkat. Hingga akhirnya air tersebut mengalir pada setiap luka pada punggung Zack tanpa terkecuali. Ditatapnya intens setiap air yang mengalir pada lukanya, yang lambat laun menjadi tipis, lalu menghilang. Oh, Tuhan, apakah aku telah tidur bersama seorang bidadari?! Manusia macam apa aku ini?! Bisiknya dalam hati.

Senyuman cantiknya kembali mengembang. "Selesai. Maafkan aku atas luka cakaran tadi, kupikir lukanya hanya sedikit," Zack masih bingung dengan apa yang telah Alice lakukan pada lukanya. "Kutunggu kau dimeja makan."

Zack menatap Alice yang langkahnya menjauh menuju meja makan. Sekali lagi, ia dibuat kagum oleh magic yang dibuat oleh Alice. Ia berjalan masuk menuju showerbox dengan perasaan yang campur aduk.

Aku harus menemui Apollo.

-

Dan pada pagi itu, Zack menyantap sarapan paginya dengan pikiran yang haus akan jawaban-jawaban dari pertanyaan yang tak ia kemukakan. Ia telah melahap salad yang Alice buat untuknya, namun rasanya tak cukup. Bukan salad yang bisa memenuhi keingin-tahuannya saat ini. Tapi Apollo, juga kamuflase pintu antar-dimensi menjadi sebuah lira emas yang menggantung dilangit tanpa seutas tali yang menopangnya.

"Apa ada yang mengganggu pikiranmu, Zack?"

Ia kembali pada kesadarannya disaat Alice membawanya kembali. Banyak kemungkinan yang terlihat dalam benak Zack perihal Alice dan Apollo yang masih menjadi misteri. Jawaban-jawaban itu layaknya diorama Yunani Kuno yang dicari oleh ahli arkeolog pada pikirannya.

"Tidak," jawabnya asal. "Saladnya lezat."

Alice tersenyum senang. "Untuk makan siang nanti, aku akan memasak Bulgogi. Apa ada yang kau mau untuk makan siang?" Senyumannya benar-benar mengalihkan dunia Zack yang terombang-ambing dalam lautan ketidak-pastian. "Kurasa tidak. Memangnya kau bisa memasak daging sapi?"

Diteguknya segelas air segar saat menunggu jawaban Alice. "Hmm... Lihat saja nanti!" jawabnya seraya tersenyum usil pada Zack. Keduanya kembali tenggelam pada kebahagiaan tanpa batas setelah kejadian tadi malam yang membuatnya semakin dekat. Zack tak yakin jika ia mencintainya-tapi Alice tahu jika hatinya telah memilih Zack sebagai teman hidupnya.

HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang