Chapter 2 : Old Friend

195 15 4
                                    

Malam itu belum berakhir.

Alice tetap menatap kedua bola mata Zack getir, memintanya untuk membawa sepasang belati. Bibir tipisnya tak bergumam, lirikan matanya tak berubah, juga tangannya yang mengepal hingga tetesan darah mulai mengalir disepanjang kaki jenjangnya. Zack mencoba mengalihkan pandangannya pada beberapa hal yang mungkin dapat membuatnya tenang- tidak. Wanita manis itu tengah berada diluar batasnya.

"Tidak ada sepasang belati yang bersatu," gusar Zack tanpa mengalihkan pandangannya pada Alice. "Keduanya terpisah, dan aku tidak akan memberikannya padamu sebelum kau bicara."

Kembali, keempat bola mata keduanya bertemu. Dapat Zack rasakan, jika keadaan mulai tidak kondusif, terlebih dengan berubah-ubahnya warna iris Alice yang tak menentu. Ia melihat beberapa warna yang mengubah sorot mata Alice menjadi lebih tajam, dari warna hitam kelabu hingga merah seperti kobaran api yang menyala.

"Kumohon, Tuan Zack," lirihnya pelan. "Penjelasan itu cukup sulit untuk dikemukakan. Biarkan aku menjelaskan kembali rasa sakit yang aku terima darinya."

Zack sesekali melihat tetesan darah dari kepalan tangannya semakin banyak, seiring dengan bertambah cepatnya warna iris itu berubah. "Berhenti," pinta lelaki itu pelan. "Cukup, persetan dengan Joker, lepas kepalan tanganmu itu sekarang juga."

"Apa pedulimu terhadap darah dalam tubuhku?" salah satu sudut bibir Alice terangkat. "Kau juga akan menghabisinya lagi seperti yang sudah ia lakukan padaku, bukan begitu?"

Kali ini, Zack benar ketakutan. Perlahan namun pasti, ia menggapai kedua pergelangan tangan halus Alice hingga pemiliknya terdiam sesaat. Warna irisnya berhenti pada merah api yang sebelumnya ia lihat. Ia tak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi pada wanita sinting dihadapannya ini—bahkan ia mulai meragukan identitas Alice sebagai seorang manusia—namun sentuhan Zack membuat aliran darah itu berhenti.

Matanya terbelalak melihat apa yang telah terjadi pada darah yang saat ini telah mengering begitu cepat, juga sorot mata Alice yang menghilang oleh kelopak matanya yang menutup. "Alice?" ia menggoyangkan pundak wanita itu beberapa kali. Oh Tuhan, masalah apalagi yang menimpaku kali ini?

-

Zack memutuskan untuk membawanya menuju rumah sakit terdekat di kota. Tak dapat ia jelaskan mengapa, tetapi tetesan darah yang telah mengering itu membuatnya melawan nafsunya untuk pergi ke clubbing terdekat dan meninggalkan Alice sendirian dirumahnya.

Waktu menunjukkan pukul 02.45am pada jam yang melingkar ditangan Zack. Mobilnya kembali melaju melampaui batas kecepatan normal. Hingga mobilnya terhenti tepat dihadapan pintu gawat darurat disebuah rumah sakit internasional kota Vancouver.

Dibawanya kembali tubuh Alice dalam pangkuannya. Namun kali ini, ia harus sedikit terlihat panik. Setidaknya, ia tak begitu terlihat seperti seorang tersangka yang membawa korbannya ke rumah sakit.

"Tolong!! Dokter, petugas keamanan, siapapun! Ada seorang wanita yang membutuhkan pertolongan segera!!" serunya tak karuan. Tanpa perintah, kerumunan dokter juga perawat yang berjaga disana membantu Zack membawa Alice menuju ruang tindakan. Ditaruhnya tubuh itu disebuah ranjang khusus, dan para perawat segera membawanya jauh dari Zack. Helaan nafasnya masih tak beraturan, namun ia berhasil memasang ekspresi panik yang cukup baik bagi seorang pemula dalam dunia peran.

Dirinya terduduk diruang tunggu yang disediakan khusus untuk para penunggu pasien yang sedang dalam tindakan. Pada waktu seperti ini, biasanya ia masih menikmati botol alkoholnya yang ketiga bersama teman-temannya di bar. Tetapi saat ini, ia menunggu seorang wanita yang sama sekali tak ia kenal di rumah sakit. Dini hari itu rumah sakit memang cukup sepi, dan akhirnya Zack memutuskan untuk pergi meninggalkan Alice di rumah sakit. Siapa peduli? Batinnya senang.

HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang