CAT FEEDING

2 0 0
                                    

Lily terpaku di depan pintu rumahnya saat melihat lampu ruang tamu menyala dari arah jendela. Itu artinya Ibunya malam ini pulang. Lily menghela nafas seakan bertemu dengan Ibunya adalah yang sangat sulit. Namun faktanya memang begitu. Lily kesulitan untuk berkomunikasi dengan Ibunya dan itu membuat mereka sering kali tidak sepaham hingga menimbulkan konflik, bahkan untuk hal sederhana sekalipun.

"Nyonya dari mana aja jam segini baru pulang." Lily memejamkan matanya kala suara itu langsung menyambut padahal ia baru saja membuka pintu dan kakinya bahkan belum benar-benar menginjak lantai rumah.

"Tumben Mamah pulang." Lily mencoba untuk terdengar santai dan tenang, sekalipun rasanya ia ingin melesat masuk ke dalam kamar dan bersikap seolah tak ada siapapun di Rumah ini. Seperti biasanya.

"Kenapa? Udah seneng bisa bebas tiba-tiba Mamah pulang?"

"Gak gitu, aku cuma nanya aja kok." Lily menghela nafas. Biasanya ia sudah meninggikan nada suara, namun kali ini tidak. Entah mengapa ia hanya sudah terlalu lelah untuk meributkan hal-hal sepele seperti ini.

"Kamu mau jadi apa coba, emang gak malu diliatin tetangga pulang malem terus? Atau emang gak punya urat malu?"

"Aku di Rumah juga ngapain Mah? Gak ada kehidupan di sini sejak Papah pergi. Mamah juga pulang seingetnya doang. Terus Mamah pengennya aku di Rumah terus sedangkan di Rumah ini aja gak ada apa-apa."

"Kamu ini gak ada bersyukurnya, masih mending kamu punya Rumah buat tinggal dan uang yang Mamah kasih gak pernah kurang. Hidup kamu itu udah serba cukup, gak usah mendramatisir keadaan seolah kamu paling menyedihkan."

"Papah hampir gak pernah kasih aku uang tapi aku gak pernah merasa kurang dalam segi apapun."

"Iya, karna Papah kamu pengangguran dan emang gak punya hal lain buat dikerjain selain nemenin anak kesayangannya di Rumah."

"Artinya yang aku butuhin bukan uang!" Lily mulai kehilangan kendalinya.

"Munafik."

"Suatu saat nanti Mamah bakalan tau seburuk apa rasanya kejebak di Rumah ini, sendirian tanpa kehidupan."

"Gak usah berlagak kayak korban deh.  Lupa kalau Papah itu mati gara-gara kamu!?" Lily terhenyak, suasana seketika menghening. Gadis itu membeku, tiba-tiba kakinya seperti kehilangan kekuatan untuk menopang beban tubuhnya sendiri. Sebelum tangisnya benar-benar tumpah, Lily segara berlalu ke kamarnya. "LILY! KAMU DENGER GAK!? UDAH BERANI YA KAMU KURANG AJAR SAMA MAMAH." Ibunya menggedor kamar putrinya dengan kencang namun si pemilik kamar justru malah menenggelamkan kepalanya dibalik bantal. "MAU JADI APA KAMU!? KALAU KAMU LAHIR CUMA BUAT MALU-MALUIN KELUARGA, MATI AJA SEKALIAN!" Lily merapatkan matanya saat kalimat terakhir terdengar begitu menyayat.

Beberapa menit kemudian, suasana menjadi hening dan Lily akhirnya membuka bekapan di wajahnya. Ia menatap ke arah cermin di mana bayangannya terpantul begitu sempurna. Sempurna menyedihkannya. Segaram kusut setengah basah dengan bercak lumpur di beberapa tempat, rambut panjangnya yang tergerai begitu memprihatinkan, dan wajahnya yang kusam dengan raut memilukan.

Lily berjalan mendekati cermin dan tersenyum miris saat menatap pantulannya sendiri.

Ia benar-benar terlihat mengenaskan.

"It's okey." Lily memeluk dirinya sendiri sambil sesekali mengusapnya."No i'm not okey." Lily terisak dan jatuh terduduk. Ia bahkan sudah tak mampu untuk membohongi dirinya lebih jauh hanya untuk merasa atau bersikap seakan semuanya baik-baik saja, jadi ia kembali menangis entah untuk berapa lama. Karena rasanya luka yang berusaha ia sembuhkan seakan dikoyak kembali.

Lily menyeka air matanya ketika ia sudah mulai merasakan kepalanya seolah ingin pecah dan matanya mulai terasa seperti akan meledak. Itu adalah sinyal bahwa tubuhnya tidak bisa dipaksa untuk menangis lebih lama lagi. Dan untuk kali ini Lily mengikuti kebutuhan tubuhnya, karena sepertinya ia sudah terlalu banyak berlaku egois pada tubuhnya sendiri dengan memaksanya untuk mengikuti perasaan dan menyiksa tubuhnya.

HER LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang