Lily masuk ke dalam kamarnya dan langsung menenggelamkan kepalanya ke dalam bantal dan berteriak sekencang-kencangnya. Ia menumpahkan semua rasa sakit itu dan memukul apapun yang bisa ia gapai, hingga ketika tangannya mulai lebam dan sakit, ia baru berhenti dan ketika tubuhnya sudah tak lagi sanggup mengeluarkan energi untuk menangis. Lily merebahkan tubuhnya dan menatap plafon kamarnya yang terdapat beberapa sarang laba-laba di sana.
Ia menyeka air mata terakhir yang menetes, kemudian mencoba untuk bangun sekalipun kepalanya terasa seakan hendak pecah. Lily menggapai ponselnya dan mencoba melihat beberapa nontifikasi pesan dari Melia dan Belva.
Belva :
Lo gak kenapa-napa kan? Please kabarin gue, jangan diem kayak gini.Me :
Iya, gue gak apa-apa kok, semuanya baik-baik aja, gue mau tidur dulu nanti gue kabarin lagi ya.Lily menghela nafas 'baik-baik saja' katanya. Lihai sekali ia membohongi dirinya sendiri. Apanya yang baik-baik saja?.
Ia kemudian membuka pesan dari Melia.
Melia :
Lo jangan bikin gue khawatir dong, berkabar kek.Me :
Gue udah baik-baik aja kok, lo tenang aja, gak usah dramatis ewwww.Lily terkekeh lembut, kemudian setelah mengirim pesan itu ia menghampiri meja belajarnya dan membuka laptop dan mencolokan sebuah hardisk ke dalamnya, dan mulai mengetikan sesuatu, serta ia juga menyiapkan sebuah buku, di mana ia mulai menulis di beberapa lembar kertas, sekalipun ia agak kesulitan karena tangannya mungkin terluka saat memukul secara acak tadi. Namun ia tersenyum tipis setelah semuanya selesai.
Lily membuka laci dan mengambil sebuah kartu serta amplop coklat berisi beberapa dokumen, dan ia mencabut hardisk tadi, entah apa yang akan ia lakukan namun ia memastikan rumahnya cukup sepi untuk ia keluar tanpa sepengetahuan siapapun. Dan setelah ia berhasil keluar, Lily berlari secepat yang ia bisa dan naik sebuah angkutan umum yang lewat. Sepanjang jalan ia mulai berpikir, haruskah ia melakukan semua ini?. Namun tekadnya sudah bulat dan ia akan tetap melakukannya.
Lily turun didepan sebuah kantor pos, dan ia mulai mengantre untuk mengirim surat, ketika gilirannya masuk, ia langsung menyerahkan dua buah surat di mana masing masing berisi kartu dan yang lainnya berisi hardisk.
"Ini saja?" Tany karyawan tersebut dan Lily tampak menimbang-nimbang, haruskah ia mengirim amplop coklat ini juga? Namun akhirnya Lily hanya mengangguk.
"Iya, itu saja."
"Alamatnya sudah lengkap?"
"Sudah."
"Boleh saya tau apa isi surat ini dan benda yang akan disisipkan untuk sekaligus membuat surat asuransi, karena jika surat hilang kami hanya bisa mengganti senilai maksimal 6 juta rupiah untuk setiap surat."
"Hanya surat biasa dan kartu debit serta hardisk, tidak ada yang begitu berharga."
"Baik kalau begitu silakan tanda tangan di sini untuk menyetujui asuransi." Lily mengangguk dan tanpa ragu langsung menandatangani surat tersebut. Kemudian setelah perangko ditempel ia diberikan dua buah stiker berisi estimasi surat itu sampai dan alamat penerima.
"Terima kasih." Lily berdiri dan pergi dari kantor pos tersebut. Ia berjalan menyusuri jalanan seperti orang yang kehilangan arah, di dalam pelukannya masih terdekap amplop coklat itu yang membuatnya semakin ragu, harus kah ia melakukan semua ini?. Namun ia menggeleng dengan cepat dan memutuskan untuk menghabiskan hari ini dengan melakukan semua hal yang ia suka.
Pertama ia membeli satu kilo makanan kucing, kemudian ia pergi menuju Surya Kencana, dan mulai berkeliling di sekitar Kebun Raya untuk memberi kucing-kucing jalanan itu makanan yang ia bawa. Lily duduk disebuah kursi taman sambil memandang jalanan lingkar Kebun Raya yang padat, ia mendongak menatap langit, meratapi betapa menyedihkannya hidup ini, kemudian seekor kucing datang menghampiri dan duduk tepat di sampingnya seakan bisa merasakan kepedihan yang sama dan mencoba untuk menemaninya. Lily terdiam seperti orang menyedihkan di sana selama beberapa lama, ia melupakan tujuan awalnya untuk melakukan semua hal yang ia suka, dan entah bagaimana perasaan itu menguap begitu saja sehingga ia memutuskan untuk kembali pulang.
Namun ia memilih untuk berjalan kaki sejauh yang ia bisa, hingga kakinya terasa sudah lelah dan tak lagi sanggup untuk berjalan lebih jauh, barulah ia naik angkutan umum. Hari mulai gelap dan matahari sudah mulai bosan menerangi kota hujan ini.
"Iya ih, bener-bener deh tu anak, sampe di keluarin lho dari Sekolahnya yang lama." Lily tersenyum tipis saat mendengar Ibu-ibu disampinganya sedang bergosip ria, sudah lama sekali rasanya ia tidak merasakan saat-saat seperti ini. Sejak adanya Belva dihidupnya, ia tidak lagi merasa kesepian, ia bahkan sudah tidak perlu lagi mendengar Ibu-ibu bergosip hanya untuk memutus kebosanan karena Belva berhasil menghidupkan kembali hari-harinya.
Tak terasa ia sudah sampai di depan rumahnya, kini ia akan kembali pada kehidupan nyata di mana ia tidak ingin hidup di dalamnya. Lily memasuki rumahnya dan menemukan ada Mamah serta Ayah tirinya tengah makan malam. Tanpa basa-basi Lily duduk di kursi yang dulu menjadi tempat ayahnya di meja makan dan mulai menyendok nasi serta lauk yang jarang sekali terpajang sebanyak ini di meja makan sejak ayahnya pergi, karena tidak ada lagi yang makan di meja makan sejak ayahnya pergi dan penghuni rumah ini hanya dirinya seorang.
Apakah waktu berlalu begitu cepat hingga kini makanan itu kembali tersaji namun dengan orang yang berbeda serta suasana canggung dan dingin yang kentara. Lily mengunyah makanannya dengan penuh hikmat, tidak ada kalimat yang keluar dari bibirnya begitu juga semua anggota yang berada di meja makan, tidak ada yang berani mengeluarkan sepatah kata pun hingga akhirnya Lily menyuap nasi terakhirnya dan kembali ke dalam kamar dengan mulut senyap.
Setelah masuk ke dalam kamar, Lily mengambil laptopnya dan memutar lagu kegemarannya beberapa bulan terakhir ini.
Lily memutar lagu For A Moment yang dulu ia dengarkan bersama Belva, dan saat melodi lagu itu mulai berputar, semua kenangan-kenangan indahnya bersama semua orang yang ia sayangi dan saat-saat di mana hidup terasa begitu indah bagaikan mimpi.
For a moment life doesn't seem quite so bad~
Lily tersenyum tipis sambil membuat simpul dari kain putih panjang yang ia miliki, bersama masa-masa indah yang berputar kembali dalam ingatannya, Lily secara ironi tengah mempersiapkan kematiannya sendiri.
And for a moment i kinda forgot to be sad~