Lily masuk ke dalam Rumahnya di mana secara mengejutkan ternyata sudah ada Ibunya yang tengah membaca buku di sofa ruang tamu.
"Baru pulang Li?" Pertanyaan basa-basi itu benar-benar sebuah basa-basi tanpa ada unsur sarkas atau sinisme apapun di dalam nada dan penyampaiannya. Sayangnya hal tersebut terlalu mustahil untuk menjadi nyata, maka jangan salahkan Lily jika ia tetap curiga sesuatu yang buruk akan terjadi menimpanya.
"Iya Mah." Lily menjawab sekenanya dan ia tetap mempertahankan posisinya, jaga-jaga saja jika ternyata basa-basi itu adalah kalimat pengantar dari caci maki yang mungkin sudah berada di dalam pikiran Ibunya.
"Kemana aja hari ini? Kamu abis main?" Lagi dan lagi tidak ada nada sinisme atau sarkasme dalam kalimat tersebut yang membuat Lily heran sekaligus penasaran mengapa tiba-tiba Mamahnya bersikap begitu baik.
"Iya, sama Melia tadi ke Mall."
"Tumben banget, bukannya kalian jarang main keluar ya?"
"Ya kebetulan dia lagi bisa aja sih Mah." Lily menggaruk tengkuknya yang tak gatal, berbicara seperti manusia normal tanpa teriakan dan makian bersama Mamahnya adalah hal paling canggung yang pernah Lily lakukan.
"Yaudah kalau gitu, kamu masuk ke dalem gih, bersih-bersih dulu terus langsung makan, Mamah tadi beliin kamu ayam buat makan malem." Lily menahan ekspresinya untuk tidak terkejut, jadi untuk mengantisipasi dirinya tak berekspresi lebih jauh, Lily langsung melangkahkan kakinya ke kamar mandi dan melakukan semua yang Mamahnya perintahkan tadi. Lily baru menyadari jika Rumah ini lebih bersih dari pada biasanya, terbukti saat ia akan meletakan piring bekasnya di wastafel, tidak ada sampah atau bekas cucian piring sama sekali, padahal kemarin ia masih punya beberapa bekas wadah yang belum di cuci.
Lily kembali ke kamarnya dengan penuh keheranan, ia lantas membuka ponselnya dan buru-buru menghubungi Belva dan menceritakan semua kejanggalan yang terjadi pada Ibunya malam ini.
"Ya bagus dong kalau gitu." Komentar Belva setelah dengan hebohnya Lily menjabarkan semua yang ia alami malam ini.
"Iya sih, tapi gue masih gak abis pikir kenapa Mamah kayak gitu."
"Mungkin beliau merasa bersalah soal keributan kalian yang terakhir." Lily tampak menimbang-nimbang, sebenarnya gagasan Belva cukup masuk akal. "Yaudah sekarang lo nikmatin deh versi terbaru dari Ibu lo." Terdengar kekehan lembut di ujung sana yang turut membuat Lily tersenyum.
"Makasih ya udah mau dengerin cerita gue."
"Iya, besok lo sibuk gak?" Tanya Belva mencoba membelokan topik.
"Gue gak pernah punya jadwal sih tiap akhir minggu. Emang kenapa?
"Gue mau ngajak lo makan ke tempat sushi yang konsepnya omakase gitu, tempatnya baru buka dan udah sold di mana-mana jadi harus reservasi dulu kalau mau ke sana, cuma kebetulan Bunda kenal sama managernya jadi kalau mau kita gak perlu reservasi nanti langsung di keep sama managernya satu table buat kita."
"Hmm menarik."
"Yaudah kalau gitu nanti gue jemput jam 3 sore."
"Oke." Telfon pun di tutup dan Lily menghela nafas lega, entah mengapa tapi dadanya terasa teramat sangat lapang hari ini. Banyak hal indah terjadi hari ini dan itu membuatnya bahagia.
"For a moment i kinda forgot to be sad" Lily menyanyikan penggalan lagu itu sambil duduk di depan meja belajarnya dan kembali membuka laptop yang entah sudah berapa lama ia tutup. Lily membuka kembali file-file yang berisikan kerangka ide novelnya, sambil sedikit membaca beberapa paragraf dari cerita yang sudah lama tak ia kembangkan, kadang ia lupa jika ia adalah seorang penulis yang mampu merangkai kalimat dengan pemilihan diksi indah, karena siapapun yang mengenalnya sebagai sosok blak-blakan pastinya tidak akan menyangka jika Lily memiliki sisi di mana ia mampu menciptakan keindahan lewat lisan dan tulisannya. Maka untuk membangkitkan kembali jiwa yang tertidur itu, Lily memutuskan untuk kembali sebagai seorang penulis, dan dengan sebuah senyuman tipis Lily menyalakan musik kesukaannya kemudian membuka file baru untuk memulai kembali cerita yang sempat tertunda, tapi kali ini akan ia ubah alur serta keseluruhan ceritanya.