"Hah serius!? Pake mantra apaan lo sampe bisa bikin Kak Belva jadi manusia bermoral kayak gitu." Melia menggeleng tidak habis pikir ketika pagi ini Lily duduk dengan wajah sumringah bersama kisah manisnya kemarin sore.
"Gue juga gak tau. Tapi waktu gue dipanggil ke ruang konsul, dia gak ikut masuk. Lo tau karna apa?"
"Apa?"
"Karna dia bilang 'Konsultasi ini seharusnya bisa jadi kesempatan lo untuk ngungkapin semua beban yang lo tanggung. Jadi gue gak bakal ikut ke dalem supaya lo ngerasa lebih bebas buat cerita.'"
"AAAAA GILAAAA KAK BELVA MANIS BANGETTT." Melia ikut terenyuh mendengar cerita Lily pagi ini.
"Gue kayaknya suka deh sama dia." Ujar Lily sambil memainkan ujung jarinya.
"Lo cuma baru ngakuin sekarang padahal sebenernya lo udah suka sama dia sejak dia mulai nganterin lo ke kelas terus ngelus-ngelus pala lo sebelum pergi." Lily mendelik tapi ia tidak menyanggah jika hal itu memang benar adanya.
"Eh nanti pulang sekolah gue mau main sama Belva, tapi hari ini dia bawa mobil, lo ikut ya?"
"Gue gak bisa. Lo kan tau kalau tiap sore gue-"
"Yaelah sehari doang, lagian kita hampir gak pernah lho main keluar."
"Ya dan lo tau kan alesannya kenapa-"
"Tapi masa gak bisa sekali ini aja."
"Gak bisa Lily, kalau lo masih maksa gue bilangin Mr. Irfan kalau lo gak ngerjain tugas bahasa inggris ya."
"Yaudah sih bilangin aja. Orang gue anak kesayangannya, gak bakal juga dia marahin gue cuma karna gak ngerjain tugas sedangkan minggu kemaren waktu dia gak masuk gue yang gantiin dia ngajar."
"Bener sih."
"Nah jadi. Lo mau ikut main atau gue rekomendasiin lo ke Mr. Irfan buat jadi orang pertama yang praktek nyanyi minggu depan?"
"Kok lo jadi ngancem gitu sih?"
"Siapa suruh ngancem duluan." Melia kemudian mengkelitiki Lily yang merupakan kelemahan dari gadis itu. "Iya iya ampun jangan ngelitikin dong gue kan gak main fisik." Ujar Lily dengan tawa yang masih menggelegar.
"Lagian lo ngeselin banget jadi orang." Lily terengah-engah karena nafasnya habis ia pakai untuk tertawa dan menghalau jemari-jemari jahanam itu dari tubuhnya.
"Sebenernya gue juga mau main kok Ly, Ibu juga kadang nyuruh gue main sesekali, jadi bukannya gue gak mau tapi gue punya tanggungjawab yang lebih besar di Rumah. Gue gak tega kalau harus ninggalin Ibu ngaduk adonan kue sendirian, mana kadang-kadang asam uratnya kambuh." Lily terdiam selama beberapa saat. "Lo pikir gue gak pengen main keluar kayak lo, andai gue punya kebebasan yang sama kayak yang lo punya, mungkin setiap sore lo bakalan liat gue di caffe, Alun-alun, atau tempat nongkrong manapun yang biasa anak seumuran kita main. Tapi pertanyaannya emang gue bisa? Jawabannya enggak. Gue gak bisa karna kalau gue mau egois buat ngelakuin itu secara gak langsung gue harus memperbudak Ibu buat ngelakuin semua tanggungjawab gue sendirian. Dan gue gak mau."
"Tapi kan cuma sekali Mel." Ucap Lily dengan nada mengiba.
"Sekali menurut lo yang setiap hari keluar mungkin gak ada apa-apanya. Tapi kalau sehari itu tiba-tiba asam urat Ibu kambuh, terus uang yang dipake buat modal bikin kue akhirnya kebuang karna gak kepake tapi di sisi lain Ibu perlu uang buat beli obat sama check up rutinnya. Sehari gue lengah bisa jadi mimpi buruk kedepannya. Makannya gue gak mau ambil resiko."
"Mel, mau peluk." Lily mengerucutkan bibirnya dengan mata berkaca-kaca.
"Apaan sih lo." Melia menghalau tubuh Lily yang hendak memeluknya namun Lily tetap bersikukuh untuk memeluknya, yang akhirnya membuat Melia pasrah dan membiarkan Lily memeluknya, dan itu merupakan sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya.