✮
✮
✮Malam semakin larut ketika Tasya beranjak dari tempat duduknya di kafe. Pikirannya masih terjebak dalam percakapan terakhir dengan Vino. Ada sesuatu yang terus mengganggu perasaannya, seolah ada bayangan gelap yang semakin menghampiri. Dia berjalan pelan menyusuri trotoar kampus yang lengang, berusaha mengendalikan kekhawatirannya.
Setibanya di kosan, Tasya disambut oleh Alya, sahabat sekaligus teman sekamarnya. Alya adalah tipe orang yang selalu ceria dan pandai membaca situasi, dan kali ini, dia langsung bisa menangkap ada yang berbeda dari Tasya.
"Eh, lo kenapa? Mukanya kok tegang gitu?" tanya Alya sambil menyodorkan segelas teh hangat pada Tasya. Matanya penuh rasa ingin tahu, seperti biasa.
Tasya tersenyum lemah, mencoba terlihat biasa saja, tapi Alya sudah terlalu mengenalnya. "Vino," jawabnya singkat, lalu duduk di sofa. Dia menatap gelas teh di tangannya, merasakan kehangatan gelas itu, namun di dalam hatinya, tetap ada rasa dingin yang mengganggu.
Alya mengangkat alis. “Lo lagi-lagi galauin cowok misterius itu, ya? Gue tuh heran sama lo. Lo kan biasanya bukan tipe cewek yang gampang baper.”
Tasya menghela napas panjang. “Bukan soal baper, Ly. Ini lebih rumit dari itu. Keluarganya... berat banget buat dia. Gue nggak tau gimana cara bantuin dia.”
Alya duduk di sebelah Tasya, lalu menatapnya serius. “Lo yakin mau terlibat sedalam itu? Gue tahu lo peduli sama dia, tapi kadang masalah keluarga tuh nggak segampang itu buat dilawan.”
Tasya terdiam. Kata-kata Alya benar, dan itulah yang membuat semuanya terasa begitu berat. Dia tahu Vino terjebak dalam tekanan keluarganya, tapi semakin dia peduli, semakin dia takut tidak bisa membantu Vino keluar dari lingkaran itu.
Alya menepuk pundak Tasya, mencoba menghiburnya. “Tapi gue yakin, lo nggak akan tinggal diam. Kalau lo udah sepenuhnya masuk ke hidup seseorang, lo nggak bakal mundur kan? Itu yang gue suka dari lo, sya.”
Tasya tersenyum, meski perasaannya masih jauh dari lega. “Gue cuma pengen dia tahu dia nggak sendirian.”
Alya mengangguk pelan, lalu mengganti topik pembicaraan dengan candaannya yang biasa. Namun, pikiran Tasya tetap terpaku pada Vino. Dia memutuskan untuk mengirim pesan singkat pada Vino, menanyakan kabarnya, berharap mendapat jawaban cepat.
Namun, malam itu, pesan yang ia kirim tidak pernah dibalas.
---
Keesokan paginya, saat matahari baru saja muncul di ufuk timur, Tasya melangkah menuju kampus dengan pikiran yang masih dipenuhi kekhawatiran tentang Vino. Ponselnya masih diam, tidak ada balasan dari Vino, bahkan hingga malam sebelumnya berakhir.
Ketika Tasya sampai di fakultas, dia bertemu dengan Revan, teman sekelas yang terkenal ramah dan cukup dekat dengan mereka berdua. Revan punya sikap yang berbeda dengan Vino; dia adalah tipe orang yang terbuka dan selalu punya waktu untuk mendengarkan keluhan orang lain. Hari itu, dia terlihat sedang bersandar di dinding sambil memainkan ponselnya.
"Eh, sya, gue dari tadi nyariin lo tau!" panggil Revan begitu melihat Tasya. "Lo lihat Vino nggak?"
Jantung Tasya berdebar lebih cepat. “Kenapa? Ada apa sama Vino?”
Revan menggaruk kepalanya, tampak bingung. “Gue udah dua hari ini nggak lihat dia. Biasanya kan dia nongkrong di studio seni kalau nggak ada kelas, tapi kemarin sama sekali nggak ada tanda-tanda. Gue pikir lo tahu dia kemana.”
Tasya menggigit bibirnya. Kekhawatirannya semakin menguat. “Kemarin dia bilang harus balik ke rumah karena ada urusan keluarga,” jawabnya cepat. “Tapi dia nggak kasih kabar lagi setelah itu.”
Revan tampak berpikir sejenak. “Hmm, mungkin dia lagi butuh waktu buat sendiri. Lo tau kan, dia emang sering ngilang tiba-tiba kalau lagi ada masalah.”
“Tapi kali ini beda,” potong Tasya. “Gue ngerasa ada yang nggak beres, Van. Gue udah coba hubungi dia, tapi nggak ada jawaban sama sekali.”
Revan mengerutkan kening. “Kalau gitu, kita coba cek ke rumahnya. Lo pernah ke rumah Vino?”
Tasya menggeleng, dan Revan tampak semakin khawatir. “Oke, gue tau alamatnya. Kita cek bareng aja sore ini, siapa tau dia ada di sana.”
Meskipun ragu, Tasya setuju. Dia tidak bisa duduk diam menunggu kabar sementara perasaan khawatir menguasai pikirannya. Mungkin ini akan memberikan jawaban.
---
Sore harinya, Tasya dan Revan naik motor menuju rumah Vino di salah satu kawasan elit di pinggiran kota. Perjalanan terasa panjang, meski sebenarnya tidak terlalu jauh. Hati Tasya semakin tak tenang saat mereka tiba di depan gerbang besar yang tertutup rapat. Rumah Vino terlihat sepi dari luar, tidak ada tanda-tanda kehidupan yang biasanya ramai oleh aktivitas.
Revan memencet bel di gerbang, menunggu jawaban dari dalam. Tak lama kemudian, seorang penjaga rumah muncul dan menghampiri mereka.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya penjaga itu dengan nada sopan.
“Kami teman kuliahnya Vino. Apa dia ada di rumah?” tanya Revan.
Penjaga itu tampak ragu sejenak sebelum menjawab. “Mas Vino ada, tapi beliau sedang tidak bisa menerima tamu.”
Tasya dan Revan saling pandang. Jawaban itu terasa janggal. “Apa ada yang terjadi? Kami benar-benar butuh bicara sama dia,” desak Tasya.
Penjaga itu tampak semakin gugup. “Maaf, saya tidak bisa memberikan informasi lebih. Mungkin kalian bisa coba lain waktu.”
Tasya merasa ada sesuatu yang disembunyikan, tapi dia tahu mereka tidak bisa memaksa lebih jauh. Mereka akhirnya memutuskan untuk pergi, namun perasaan tidak tenang tetap menghantui Tasya sepanjang perjalanan pulang.
"Kayaknya ada yang aneh, ya," gumam Revan sambil mengendarai motornya.
"Iya. Gue nggak suka firasat ini," jawab Tasya. memeluk erat tas di pangkuannya. "Gue cuma berharap dia baik-baik aja."
Saat mereka sampai kembali di kampus, kelas Vini sudah dimulai. setelah selesai kelas Vini pun berjalan pelan menuju kosnya, merasa lelah secara emosional. Ketika tiba di depan pintu kamar, Alya sudah menunggunya dengan wajah penuh rasa ingin tahu.
"Gimana? Ada kabar soal Vino?" tanya Alya cepat.
Tasya menggeleng. "Dia di rumah, tapi nggak bisa ditemuin."
Alya mengerutkan kening. "Serius? Itu mencurigakan banget."
"Makanya gue jadi tambah khawatir," balas Vini, menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Dia menatap langit-langit kamar, pikirannya berputar-putar, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
Namun sebelum dia bisa lebih jauh tenggelam dalam pikirannya, ponselnya tiba-tiba bergetar. Tasya dengan cepat meraihnya, berharap itu pesan dari Vino. Namun, ketika melihat layarnya, dia terkejut.
Bukan Vino yang mengirim pesan itu, melainkan nomor tak dikenal dengan pesan singkat: "Kalau kamu peduli sama Vino, jangan datang untuk mencarinya lagi."
Detak jantung Tasya melonjak. Tangannya gemetar saat dia menunjukkan pesan itu pada Alya.
"Ini... apa-apaan?" tanya Alya, suaranya tercekat.
Tasya tidak tahu harus berkata apa. Hanya satu hal yang dia tahu: ada sesuatu yang jauh lebih besar terjadi, dan kini, bukan hanya Vino yang terseret dalam pusaran itu. Dirinya juga.
Bersambung...
---
wihh kenapa ya kira-kira vino inii....
penasaran? jangan lupa divote duluu yaa, biar lanjuttt✨
감사합니다
KAMU SEDANG MEMBACA
The Love Sempiternal
Fiksi Remaja--- Kisah ini bukan tentang cinta pada pandangan pertama, melainkan cinta yang tumbuh perlahan, seperti embun pagi yang menetes di dedaunan, seiring waktu, mengukir garis-garis halus di kanvas kehidupan. Tasya, gadis yang selalu berpijak pada logika...