Aron Mahatma Bravaska menyelusuri lorong rumah sakit di lantai 17. Di tangannya telah tertenteng sepaket ayam goreng pesanan sang istri. Langkah lelaki itu terhenti tepat di kamar 02.
Aron memasukkan pin untuk mengakses ruangan VVIP. Hanya ada tujuh kamar VVIP di rumah sakit ini. Dua di antaranya sudah terisi keluarga Bravaska dan Arkatama.
Setelah meletakkan pesanan Ivy di meja, pria bersetelan hitam itu mendekati wanita yang tengah membaringkan kepala di sisi ranjang. Mengusap lembut dan menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah cantik wanitanya.
Perlahan, tubuh rapuh itu terangkat. Aron dengan hati-hati memindahkan sang istri tercinta di ranjang kosong. Kamar VVIP ini memiliki fasilitas yang begitu lengkap untuk menunjang kebutuhan pasien maupun pihak keluarga.
"Tidur yang nyenyak, Sayang," bisik Aron seraya mengecup lembut pucuk kepala Ivy. Wanita itu menggeliat, matanya perlahan terbuka. Pahatan sempurna yang berjarak beberapa senti di depannya tersenyum.
"Tidur, Sayang!" Jemari Aron mengusap lembut kelopak mata Ivy. Seakan tersihir, dalam sekejap Ivy terlelap di dunianya yang damai.
Aron melirik arloji yang melingkar di tangannya—menunjukkan pukul 20.05 WIB. Sudah hampir enam jam sejak Rangga tertidur. Pria itu mengambil benda pipih dari saku kemejanya, lalu menekan beberapa nomor. Setelah panggilan terhubung dengan seseorang di seberang sana, kakinya melangkah menjauh.
"Iya. Sekarang!" Panggilan terputus. Aron menyimpan kembali ponsel miliknya.
"Aku akan mencari siapa dalang di balik kecelakaan itu," ujar Aron dengan tangan mengepal. Urat lehernya juga menegang. "Mati atau binasa."
Prang!
Suara nyaring dari pecahan kaca membuat Aron terkesiap, begitu juga dengan wanita yang tengah tertidur lelap di kasur tunggu pasien.
Aron memutar tubuhnya, lalu melangkah mendekati Rangga yang tengah berusaha menggapai nakas. Ivy yang terbangun juga menghampiri Rangga untuk memastikan keadaan putranya.
Dengan sigap, pria berusia 49 tahun itu menuangkan segelas air. Kemudian, memberikannya kepada anak semata wayangnya. Rangga menepis tangan Aron, jemarinya masih berusaha menggapai nakas.
"Baiklah, ambil sendiri!" ujar Aron seraya meletakkan gelas di nakas. Pemuda itu tersenyum sinis, menarik anggota tubuhnya yang terasa berat.
Prang!
Gelas berisi air itu terjatuh, menimbulkan suara nyaring di ruangan hening tersebut.
Ivy yang melihat kegigihan putranya hanya membekap mulut—tak tega melihat putranya yang begitu kesusahan.
Aron kembali menuangkan air, membiarkannya di nakas sembari mengamati putranya. Jemari Rangga berhasil menggapai bibir gelas.
Prang!
Suara pecahan kaca kembali terdengar. Aron tak memedulikan berapa banyak gelas yang pecah, ia hanya menuangkan air, lagi dan lagi.
Rangga semakin berusaha, jarak gelasnya yang semakin jauh membuat pemuda itu kesulitan. Benar, Aron menjauhkan gelas yang dituangnya. Ia ingin melihat seberapa keras kepala anaknya itu.
"Mas," ucap Ivy lirih, ia berharap suaminya itu menghentikan keusilannya.
Lagi-lagi suara pecahan kaca terdengar, bahkan Aron telah memanggil office boy rumah sakit untuk membawakan gelas lebih banyak lagi.
Rangga telah di ujung ranjang, begitu juga dengan gelas kedelapan yang berada di ujung nakas.
"Ambil!" tegas Aron tersenyum miring. Rangga tertawa, rasanya begitu lelah dipermainkan oleh papanya sendiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/357752602-288-k483844.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
31 Hari di Bulan Juli
Teen FictionKecelakaan yang dialami Rangga membuatnya harus menerima kenyataan, jika dirinya kemungkinan besar mengalami lumpuh permanen. Sang kekasih sekaligus tunangannya juga hilang ingatan semua kenangan tentang mereka. Mengetahui semua itu, dunia Rangga lu...