04. Kursi Roda untuk Rangga

253 10 2
                                    

Ruangan putih yang pengap akan bau alkohol dan obat, menyeruak di indra penciuman sepasang suami-istri itu. Keduanya tengah menunggu dokter berjas putih dengan name tag bertulis dr. Wijaya Artya, Sp.BS mengeluarkan suara.

"Hasil CT scan menunjukkan adanya cedera pada saraf tulang belakang pasien. Saraf di tulang belakang lumbal pasien yang rusak, memungkinkan pasien mengalami kelumpuhan tubuh bagian bawah atau yang disebut dengan paraplegia. Hal ini bisa terjadi karena benturan kuat yang menyebabkan tulang belakang korban melentur melebihi rentang gerak normalnya. Fleksi ini dapat menyebabkan kerusakan parah pada sumsum tulang belakang," tutur Dokter Wijaya menjelaskan kondisi putra mereka.

"Maksud, Dokter? Rangga ...."

Dokter Wijaya mengangguk. Ivy yang mendengar kenyataan itu tak mampu membendung air matanya lebih lama lagi.

"T-tapi, Rangga bisa sembuh, kan, Dok?" tanya Ivy dengan bibir gemetar.

•••

"Tuan Bravaska!"

Aron terdiam, matanya menilik pemuda berkemeja putih di hadapannya.

"Saya Satria. Pak Baron—"

"Masuk! Letakkan di sana," perintah Aron membuat pemuda bernama Satria itu tersentak. Ini pertama kalinya ia berhadapan langsung dengan CEO perusahaannya itu.

"Baik, Tuan!" jawabnya gugup. Pria dihadapannya itu begitu berkharisma, sejenak ia sempat terpukau. Pantas saja, CEO-nya itu selalu menjadi topik hangat di kalangan wanita divisinya.

Satria hanya staf gudang yang kesehariannya mengatur barang, mendapat panggilan dari atasannya membuat pemuda berkumis tipis itu berkeringat dingin. Pikirannya berkecamuk, entah kesalahan apa yang ia perbuat hingga mendapat panggilan mendadak.

Setelah mendapat jawaban atas pertanyaannya, Satria dapat bernapas lega. Ia hanya diperintahkan mengambil barang di bandara, lalu mengantarnya ke rumah sakit. Satria sudah mendengar rumor yang menjadi pembicaraan hangat beberapa hari ini—kabar kecelakaan penerus keluarga Bravaska. Ternyata, rumor itu benar. Di hadapannya, seorang pemuda tengah berbaring. Satria meneguk salivanya, pemuda itu adalah menejer departemen perusahaan.

"Keluar!" Satria tersentak, tangannya dengan terburu meletakkan kursi roda di sisi ranjang.

"Ampun, dah. Lebih horor dari film Pengabdi Setan," ujarnya setelah keluar dari ruangan pengap tersebut.

•••

"Mas!" Ivy menghampiri Aron yang tengah mencoba kursi roda berdesain velg racing.

Aron memaju-mundurkan tuas dan remote control. Mencoba fitur reclining yang dapat mengubah posisi kursi untuk rebahan. Serta mencoba fitur standing yang akan mengangkat tubuh ke posisi berdiri. Selain itu, Aron juga mencoba safety belt yang akan melindungi putranya yang keras kepala.

"Bagus juga!" ujar Aron sembari beranjak, lalu melipat kembali kursi roda putranya.

"Sayang, sekarang kamu istirahat, ya!" Aron menuntun Ivy ke kasur tunggu pasien. Kasur berukuran sedang yang cukup untuk dua orang. Aron menghirup tengkuk Ivy, tercium aroma mawar yang begitu manis.

"I love you, Baby!" Suara berat serta iringan napas hangat Aron menggelitik di indra pendengaran Ivy. "Baby." Jemari lelaki itu juga bermain di perut Ivy. Merayap tanpa melewati sejengkal kulit sekali pun. Jemarinya berhenti bermain, Aron telah tenggelam dalam mimpinya yang indah.

Di ruangan yang sama, seorang pemuda tengah mengerjapkan mata—masih belum terbiasa dengan pencahayaan tempatnya dirawat. Tangannya menahan bobot tubuh, lalu menyandarkan punggung di Headboard kasur. "Bisa-bisanya bermesraan di kamarku!" gerutu Rangga kesal, seharusnya sekarang ia juga sedang menikmati bulan madu bersama sang kekasih. Namun, takdir berkata lain.

31 Hari di Bulan JuliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang