01. Kabar di Bulan Juni

174 11 6
                                    

Jakarta, 23 Juni 2017

Tiga hari sejak kecelakaan malam itu, Rangga akhirnya membuka mata setelah melewati masa kritis yang hampir merenggut nyawanya. Berbeda dengan sang kekasih, Lily terbangun keesokan hari selepas kecelakaan.

Ruangan putih menjadi pemandangan pertama yang ia lihat. Sorot lampu yang menyilaukan membuat pemuda itu mengerjap, guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Aroma obat yang begitu khas juga menusuk indra penciuman pemuda berusia 24 tahun itu.

Satu nama yang ia cari setelah kesadarannya kembali, Lilyana Delisa—gadis cantik pemilik senyum yang begitu merekah.

“Rangga!” Seorang wanita baya yang masuk ke ruangan berlari histeris. Memeluk putranya, hingga Aron—sang suami melerai adegan dramatis itu.

“Mas!” Ivy yang tak terima menyikut lengan pria berjas hitam di belakangnya, lalu menginjak sepatu berbahan kulit yang tampak mengilat. Pria itu meringis, heels setinggi 7 cm menancap dan meninggalkan jejak di sepatu yang baru ia beli beberapa hari lalu.

“Ups, sorry!” Melihat sang suami kesal, Ivy justru tertawa puas di balik telapak tangan yang menutup mulutnya.

“Ma, Ily di mana?” Ily adalah panggilan romantis untuk sang kekasih. Panggilan yang memiliki arti, i love you. Persis, seperti yang Lily inginkan.

Ivy terdiam mendengar pertanyaan Rangga, lalu memandang Aron yang tengah memalingkan muka. Lihat saja! Tidur di luar malam ini, batin Ivy dengan senyuman liciknya.

“Lily baik-baik saja, Sayang. Dia sudah siuman kemarin, tetapi ....” Rangga yang mendengar jeda dari ucapan mamanya mengernyit.

“Tetapi apa, Ma?” tanya Rangga sembari menarik tubuh untuk bersandar. Gerakan Rangga terhenti, ia merasa begitu berat pada bagian kakinya.

“Rangga?!” ujar Ivy melihat Rangga bersusah payah memosisikan tubuhnya.

“Ma, kaki Rangga kenapa?” Ivy membekap mulut, tubuhnya hampir terjatuh jika Aron tak menahannya dari belakang.

“Kaki Rangga gak bisa digerakkan, Ma! Kaki Rangga kenapa?” Rangga mengguncang kuat lengan Ivy.

“Pa, kaki Rangga kenapa?” Kali ini pertanyaan Rangga takbisa membuat Aron mengelak. Ia mendudukkan Ivy, lalu melangkah mendekat.

Rangga kian meringis, meronta, dan memukul kedua kakinya yang mati rasa. “Pa, jawab! Kaki Rangga kenapa?”

Plak!

Rasa panas menjalar di wajah pemuda itu, tamparan dari papanya meninggalkan jejak merah yang begitu mendidih. Namun, kenyataan yang ia hadapi jauh lebih menyakitkan. Aron hanya ingin membuat Rangga tersadar. Menghentikan segala rengekan dari mulut putra sulungnya itu.

“Pa, Rangga ....”

“Iya, kamu lumpuh,” sambung Aron, lalu mengusap lembut surai hitam milik putranya.

“Maafkan, Papa!”

Ruangan putih beraroma karbol itu kembali hening. Rangga yang telah bersusah payah bersandar, menenggelamkan wajahnya di telapak tangan—menumpah ruahkan kenyataan pahit dalam tangisan tanpa suara. Sedangkan Ivy yang bersandar di dada bidang Aron tak mampu berbicara, badannya gemetar melihat kondisi putranya yang begitu miris.

31 Hari di Bulan JuliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang