06. Luka

69 5 0
                                    

"Dia?"

Aron melangkah mendekat, tangannya mencengkeram kuat kerah baju Billy. Spontan lelaki itu membelalak.

"A-aron, lepas!" Billy membanting kasar lengan Aron, tetapi pria di hadapannya hanya menatap kosong.

"Kau sebenarnya terlibat dalam kecelakaan ini, 'kan?"

Ruangan hening.

"M-maksudmu?"

"Ke mana kau pergi saat pesta pernikahan itu berlangsung? Kau bahkan membuat lelucon anak buahmu sakit perut. Kocak sekali."

"A-aku tidak berbohong, Ron. Itu bukan lelucon!"

"Baj*ng*n!"

Aron menghempas tubuh Billy. Bertepatan dengan kejadian itu, seseorang membuka pintu kamar tersebut.

"Tuan, maaf!"

"Selidiki kembali novel tersebut!"

Aron melangkah keluar, membanting pintu kasar. Sebuah senyuman tipis terukir di wajahnya.

•••

"Bagaimana rencana kita?" tanya pria itu seraya mengendurkan dasi yang melilit lehernya, tatapan tajam menukik ke gedung di seberang.

"Sejauh ini berjalan lancar, Tuan."

Ia tersenyum puas, sudah cukup bermain aman. Belati yang diasah lebih dari mampu membalas dendam. "Lanjutkan!"

"Baik."

••••

Ivy masih termangu melihat kejadian beberapa menit yang lalu. Wanita itu tak pernah melihat sosok Aron yang bengis. Di matanya, Aron adalah lelaki yang lembut dan penuh kasih sayang.

"Jeng!" panggil Lita sembari menghampiri Ivy—menghentikan lamunan wanita bersanggul bak putri keraton.

"Suami saya tidak mungkin melakukan itu. Percaya sama kami, Jeng!"

Ivy mengangguk, lalu tersenyum. "Mas Aron hanya terbawa suasana saja. Sebaiknya, Jeng Ivy beristirahat. Ily mungkin sedang menunggu."

"Iya, Jeng!" Lita melangkah keluar dengan tatapan kosong. Sedangkan suaminya—Billy telah lebih dahulu menyusul Aron. Wanita itu tampak cemas, ia takut menerima kenyataan bahwa suaminya terlibat dalam kecelakaan putri mereka.

"Ma!"

"Maafkan Mama." Dua kata yang sukses membuat butiran hangat luruh dari sudut matanya.

"Mama sudah membunuh kedua adik kamu, sekarang Mama hampir kehilangan kamu. Mama gagal jadi seorang ibu. Kenapa bukan Mama saja, Rangga?!" Ivy berteriak sembari memukul dadanya yang pengap.

"Ma, hentikan!" Rangga berusaha menarik tubuhnya, mencari tumpuan untuk bangkit dari kasur yang menikam.

"Ma, hentikan! Rangga mohon!" Ivy tak menggubris teriakan Rangga. Tangannya masih berayun memukul dada yang kembang kempis.

Ingatan Rangga kembali ke beberapa bulan yang lalu, mengingat potongan kejadian yang membuatnya takberdaya. Hari itu, ia harus menerima kenyataan bahwa kedua adik kembarnya mengalami kecelakaan. Kenyataan yang lebih pahit adalah ketika sang ibu didiagnosis depresi akibat kematian kedua anaknya.

"Ma!" Rangga ingat betul seberapa sering ibunya keluar masuk psikiater dan seberapa banyak obat yang mesti dikonsumsi.

"Ma!" Pemuda itu tak bisa melakukan banyak hal selain berteriak.

"Rangga, kedua adik kamu mati di tangan Mama. Mama pembunuh. Hahaha!" Ivy menangis diselangi beberapa tawa yang mengiris hati.

"Ma, hentikan!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

31 Hari di Bulan JuliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang