Polosnya Shabira

93 11 1
                                    

Sejak Valencia berada di rumahnya. Shabira tak pernah tau apa itu kasih sayang. Ayahnya lebih memperhatikan Valencia dibandingkan apa pun. Ia selalu diminta agar menjadi kakak yang baik untuk Valencia yang bukan saudara kandungnya itu.

Meski bersikap menolak. Shabira justru malah makin diperlakukan tak layak oleh ayahnya. Hal-hal kecil kerap membuat hatinya sakit. Shabira tak pernah mendapatkan apresiasi atas segala yang ia dapatkan di sekolah. Sedangkan Valencia selalu diberi hadiah meski di sekolah tak pernah berprestasi sama sekali. Rasanya Shabira lebih baik mati menyusul ibunya, dibandingkan harus hidup melihat keharmonisan antara ayahnya dengan Valencia.

"Shabira."

Mata Shabira melebar saat tangan Aditya menyentuh bahunya. Ia lalu menoleh ke arah Aditya. "I-Iya, Mas. Maaf tadi saya bengong."

"Sudah kuduga. Kita pulang sekarang." Aditya lalu menarik tangan Shabira, membawanya ke arah pintu keluar.

"Tapi Mas pestanya?"

"Untuk apa ada di sini, tapi kau seperti patung sejak tadi," jawab Aditya.

Shabira memejamkan mata sebentar lalu menggenggam tangan Aditya. "Maafkan saya Mas. Kita kembali, ya. Pesta ini diadakan untuk kita, masa kita pulang duluan?"

Aditya, pria itu memang jarang tersenyum. Tatapan mata tajamnya selalu berhasil membuat Shabira merinding.

"Aku bebas melakukan apa saja, termasuk pergi dari pestaku sendiri tanpa persetujuan siapapun." Aditya melepaskan genggaman tangan Shabira.

Shabira tertegun.

"Ayo. Kenapa malah diam di sana," ujar Aditya.

Shabira melihat orang-orang yang tampak kecewa karena kepergian Aditya dari pesta tersebut. Ia merasa tak enak, ini semua karena dirinya yang amat tak profesional sebagai seorang istri.

"Maafkan saya, ya. Suami saya sedang tidak enak badan jadi pulang duluan," ucap Shabira dengan polosnya pada tamu undangan.

Aditya mendengar itu. Ia berdecih malas. "Shabira."

Shabira memberikan permintaan maaf yang tulus lalu menghampiri Aditya. "Iya Mas."

"Kau lakukan apa barusan?"

"Saya? Saya tadi meminta maaf," jawab Shabira.

Aditya menghela napas. "Istri Aditya tak perlu meminta maaf atas apa pun pada orang lain."

"K-Kenapa begitu?"

"Lain kali jangan pernah minta maaf pada siapapun tanpa seizinku."

"Baik," angguk Shabira lalu meneguk ludahnya gugup.

Shabira mungkin pernah menjadi anak yang penakut. Itu semua karena didikan keras ayahnya yang memihak pada Valencia. Dia diperlakukan tak adil oleh sang ayah. Tak pernah mendapatkan kasih sayang yang seharusnya ia dapatkan. Tapi dia tak pernah sebegitu patuhnya, masih bisa membantah, menolak permintaan ayahnya.

Namun berbeda saat sekarang ia berhadapan dengan Aditya. Shabira tak bisa membantah sedikit saja. Pria itu meskipun dingin, berkata semaunya, tapi memiliki sesuatu yang Shabira tak pernah dapatkan dari siapapun.

Sebuah perlindungan.

"Saya minta maaf, Mas Adit."

"Sudah kubilang jangan minta maaf tanpa seizinku. Berhenti bersikap lemah di depan siapapun. Kau hanya boleh bersikap lemah hanya didepan ku."

"Baik."

Aditya tak menatap Shabira, ia hanya fokus pada gadget di tangannya. Sepertinya Aditya tengah mengerjakan beberapa kepentingan. Mungkin saja itu tentang pekerjaan, batin Shabira memperhatikan diam-diam.

Cinderella Nice SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang