Tentang Aditya

62 6 1
                                    

Shabira masih terpaku dengan pandangan mata tertuju ke luar jendela sana. Baru saja Velicia nyaris ambruk, ia buru-buru keluar rumah Aditya tanpa berpamitan atau sekedar mengucapkan beberapa patah kata. Ia meninggalkan rumah mewah itu begitu kata terakhir yang diucapkan Aditya membungkamnya dengan seketika.

"Kau boleh juga tadi," kata Aditya.

Shabira berbalik menatap mata sang suami yang berdiri di hadapannya dengan lengkungan kecil di sudut bibirnya.

"Maafkan saya!" Bahu Shabira yang tegak sontak merosot perlahan bersama matanya yang berkaca-kaca. "Saya sudah lancang bersikap sok akrab dengan Mas Adit."

"Apa?" Aditya tercengang dengan perkataan Shabira yang menurutnya sangat diluar ekspektasi.

"Saya benar-benar minta maaf Mas Adit, tadi saya nggak seharusnya bersikap gitu," ucap Shabira dengan suara tercekat.

"Hah," desah Aditya lalu mengembuskan napasnya pelan. "Seberapa banyak trauma yang kamu terima, Shabira, sampai-sampai kamu terlalu sering merasa bersalah begini?"

Mata Shabira yang berkilauan sejak tadi akhirnya mendapati rasa pedih sehingga dari ujungnya berhasil mengeluarkan bulir-bulir hangat yang tumpah tak tertahan lagi.

Aditya melangkah meraih Shabira lalu memeluknya. Tangannya mengusap puncak kepala wanita itu dengan hati-hati, ia sama sekali tidak menyentuh Shabira dengan sembarangan, hanya membelai amat perlahan.

"Aku yang menyuruhmu bertindak memanfaatkanku tadi, jadi jangan merasa bersalah," ucap Aditya.

Ini kali pertama ada orang yang bersikap membela sedemikian rupa terhadapnya. Sampai-sampai Shabira ketakutan jika sikap tidak tahu dirinya itu akan menjerumuskan ia ke dalam masalah baru nantinya. Namun apa ia boleh merasa aman sebentar saja, hanya sebentar dan ia janji tidak akan melakukan tindakan semacam itu lagi di kesempatan lain.

"Kedepannya aku akan melindungimu, Shabira, jadi percayalah padaku."

Aditya melepaskan pelukannya lalu berlalu meninggalkan Shabira. Sedangkan Shabira yang masih menenangkan dirinya sibuk menyeka air mata, mengeluarkan rasa tak tenang yang sempat mendera.

"Apa maksudnya," gumam Shabira sambil meremas telapak tangan. "Dia bilang akan melindungiku, apa maksudnya itu."

Aditya berhenti tepat di depan pintu mobil yang akan ia gunakan ke kantor. Tanpa sadar ia pergi keluar dari rumah meninggalkan Shabira, yang tadinya akan ia ajak pergi ke kantor bersama. Ini benar-benar aneh, sebab Aditya belum pernah merasakan hal mendebarkan seperti yang ia rasakan saat memeluk Shabira tadi. Seolah-olah dirinya sesak dan tak dapat mengendalikan ekspresi di hadapan istrinya itu hingga ia pun memilih pergi untuk menjaga sikapnya agar tidak melebihi batas.

"Tidak, kau tak boleh menyukai sampai seperti itu," ucapnya lalu mengusap wajah kasar. "Kau menikahinya demi sebuah kepentingan, dan sedikit bersenang-senang saja."

Tanpa ia duga, Shabira muncul menyusulnya. Wanita itu sedikit berlari demi mengejar Aditya yang baru saja memasuki mobil.

"Mas Adit tunggu." Shabira berhasil sampai di depan pintu mobil.

"Kau mau apa?" Aditya sempat kaget walau ia segera mengendalikan ekspresinya kembali.

"Bukannya Mas bilang mau mengajak saya ke kantor?" tanya Shabira.

Aditya mengalihkan tatapan matanya dari Shabira. "Kukira kau butuh waktu sendiri, jadi aku bisa pergi sendiri."

Shabira tak mengerti kenapa sikap Aditya berubah lagi. Ini bahkan sangat berbeda dengan sikap Aditya yang biasanya. Aditya lebih banyak mengalihkan pandangan darinya.

"Tidak, Mas, saya ingin ikut ke kantor seperti rencana awal Mas Adit tadi," kata Shabira.

Aditya lalu bergeser dari tempat duduknya. "Masuklah," ujarnya.

Shabira pun duduk di sebelah Aditya dengan ragu-ragu.

"Apa kita jalan sekarang, Tuan?" tanya sopir pribadi Aditya.

"Ya," jawab Aditya.

"Baik."

Selama perjalanan menuju ke kantor Aditya tidak mengajak Shabira berbicara. Aditya fokus menatap lurus ke depan, sementara Shabira menunduk memandangi tangannya yang berada di posisi meremas lutut.

Ia gugup karena mulai kepikiran dengan apa yang harus dilakukan nanti di kantor Aditya. Bagaimana caranya bersikap didepan karyawan suaminya. Ia takut salah dalam bersikap yang akhirnya membuat malu suaminya nanti.

Ponsel Aditya berdering, tapi Aditya tak langsung melihatnya. Shabira melirik Aditya yang hanya terus fokus menatap ke depan tak berkutik sama sekali.

"Mas Adit tidak terima teleponnya?" tanya Shabira agak ragu.

Aditya lalu mengeluarkan ponselnya tanpa menjawab Shabira lebih dulu. "Ya, ada apa."

Kedua mata Aditya yang tadinya fokus itu mendadak bergerak menatap Shabira. Ia langsung mematikan ponsel.

"Ada apa Mas?" tanya Shabira melihat gelagat Aditya yang tiba-tiba seperti ada sesuatu dari panggilan barusan.

"Kau tidak penasaran dimana orang tuaku," ucap Aditya.

"Orang tua Mas Adit?"

"Hem," jawab Aditya dengan ekspresi datar. Meski demikian ia kelihatan agak cemas dibalik sikap tenangnya.

"Saya berpikir mereka mungkin sibuk," kata Shabira.

Sebenarnya Shabira juga ingin tahu tentang orang tua Aditya. Mengapa saat mereka menikah justru orang tua suaminya itu malah tidak menghadiri acara.

Hanya saja Shabira mengira mungkin saja memang begitu kehidupan para konglomerat. Pernikahan bukan menjadi hal yang perlu dipusingkan.

"Sesibuk-sibuknya orang tua, jika anaknya menikah seharusnya mereka hadir. Bukannya kau harus berpikir begitu, Shabira."

Shabira melirik Aditya cemas. "Em, iya Mas."

"Kukira mereka tidak akan mengacau begini. Jujur lebih baik mereka tidak peduli lagi dengan pernikahanku atau apa pun yang kulakukan," ucap Aditya membuat Shabira terkejut.

Namun Shabira tidak berani bertanya alasannya. Ia terlalu takut jika salah bicara.

"Apa tadi orang tua Mas Adit yang menelepon?"

Aditya menghela napas. "Mereka bilang di bandara."

"Di bandara?"

"Hem, ibuku, dia menetap di Kanada selama sepuluh tahun tanpa bertanya kabar anaknya," ujar Aditya sambil tertawa sarkas.

Mendengar hal itu membuat Shabira jadi turut prihatin. Ia tak mengira jika ternyata Aditya punya sisi kelam dalam keluarganya. Apa mungkin sikap Aditya yang awalnya ia pikir terlalu blak-blakan dan seenaknya itu disebabkan oleh rasa kesepian.

"Aku hanya ingin memberitahumu satu hal Shabira." Aditya lalu menatap Shabira serius.

Shabira mengangguk ragu.

"Jangan gentar, aku akan mengurusnya."

Perkataan Aditya membuat Shabira sibuk mengartikan. Mungkin saja ibu dari Aditya cukup sulit dihadapi nantinya.

"Dia memang orang yang tidak ramah, tapi dia tidak berani bertindak lebih jauh meski aku adalah putra kandungnya," terang suami Shabira.

"Kita tidak ke kantor, kembali ke rumah," ucap Aditya pada sopir.

"Baik, Tuan."

"Kau takut?" tanya Aditya sambil memegang tangan Shabira yang terasa dingin. "Apa ac-nya terlalu dingin?"

"Ah, tidak, Mas," geleng Shabira panik. Ia tidak mempersiapkan diri ketika Aditya memegang tangannya.

"Tenanglah, harta yang ku punya sekarang ini, aku peroleh sebagiannya dari kekayaan ayahku. Lalu aku berhasil mengembangkan dari sebagian itu hingga menjadi seperti sekarang. Jadi, ibuku tak punya hak mengusiknya sama sekali."

Hari ini Shabira mendengarkan banyak hal yang membuatnya amat terkejut. Ia menyadari bahwa dirinya sama sekali belum mengenal Aditya. Latar belakang pria itu, bagaimana pria itu menjalani hidupnya selama ini pun ia tidak tahu.

Cinderella Nice SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang