Kehadiran Tamu Tak Di Undang

50 7 5
                                    

Di setiap kebahagiaan selalu ada pihak yang mungkin merasa sebaliknya. Valencia, gadis itu tak pernah nyaman dengan keberpihakan Aditya yang terselubung itu terhadap saudara perempuannya, Shabira.

Sejak dulu Valencia terbiasa dimanjakan, ditururi inginnya, dengan menjadikan Shabira sebagai tumbal dari sikap lemah yang ia tunjukkan dihadapan ayahnya.

"Kenapa Ayah tidak menjodohkan aku dengan Aditya. Ini tidak adil saat Shabira yang justru serba kekurangan itu malah menjadi ratu sekarang. Sedangkan diriku, mau dinilai dari sudut mana pun tetap jauh berada di depan gadis itu."

Valencia menatap wajah cantikknya di cermin. Ia menyentuh pipinya lembut, tak lama ia meremas telapak tangannya membayangkan bisa jadi Shabira sudah disentuh oleh Aditya. Tak lama tawa sumbang terdengar.

"Mana mungkin. Aku meragukan jika Shabira punya daya tarik sampai kesana," katanya mencibir.

Beberapa detik setelahnya, ia mencemaskan itu. Satu hal yang ia sama sekali tidak berhak ikut campur. Tapi Valencia malah merasa ingin membuatnya berantakan dengan tangan sendiri.

"Haruskah aku menjenguk kak Shabira ke rumah kakak ipar," ucapnya dengan senyum menyeringai.

****

"Maaf Mas, kenapa Mas melihat saya seperti itu?" Shabira sampai tidak bisa fokus dengan sarapan di hadapannya tatkala tatapan mata Aditya membuatnya terintimidasi.

"Makanlah. Tidak ada larangan menatap istri sendiri saat makan. Itu bukan sesuatu yang perlu kujelaskan mengapa," jawab Aditya, tenang.

Shabira meneguk saliva. "Ah, ya."

Ini sama sekali di luar rencana Shabira. Ia tak pernah mengira akan begini jadinya perlakuan Aditya padanya. Bahkan ia dan Aditya telah melakukan hubungan suami istri. Itu di luar ekspektasi.

"Nadine." Aditya menelepon seseorang. Shabira sedikit melirik suaminya.

Siapa Nadine, batin Shabira. Entah mengapa ia jadi lebih serakah. Shabira ingin tahu apa Nadine itu perempuan. Meski memang itu seperti nama perempuan.

Namun untuk apa dia ingin tahu segala. Shabira menghela napas. Meski telah menghabiskan malam hingga pagi datang dengan brutal bersama Aditya. Ia tak berani berekspektasi lebih lagi.

"Ya. Tolong kirimkan beberapa pakaian untuk dipakai istriku. Hari ini aku akan mengajaknya ke kantor."

Ke kantor. Shabira menatap serius Aditya sebentar. Untuk apa Aditya mengajaknya ke kantor. Apa mungkin ia akan dipekerjakan di kantor sang suami. Tapi bagaimana mungkin, ia bahkan tidak berpengalaman.

"Ya, beberapa setelan formal untuknya. Kurasa aku akan menyingkirkan pakaian miliknya."

Hah. Shabira lagi-lagi tersentak saat mendengar Aditya akan menyingkirkan bajunya.

"Apa seburuk itu."

"Ya. Tidak terlalu buruk jika ku pandangi wajah cantikmu mengenakan apa pun. Bahkan kau lebih cantik tanpa apa-apa." Aditya menjawab Shabira begitu selesai menelepon. Itu membuat Shabira agak panik, padahal ia barusan hanya bergumam pelan sendiri. Tak bermaksud mengajak Aditya bicara, namun sepertinya Aditya tipe yang cepat tanggap.

"Hanya aku tidak suka, semua pakaian itu kau bawa dari rumah lamamu. Ah, maaf maksudku, neraka lamamu." Aditya tersenyum.

Shabira meringis. Benar itu dia bawa dari neraka lamanya.

"Kau berpikir di sini merupakan neraka barumu, kah?"

Pertanyaan itu membuat Shabira tercengang, hingga ia jadi gugup ketika akan menjawabnya.

"Apa dugaanku tidak salah?"

"Mana mungkin begitu." Shabira menjawabnya ragu.

"Benarkah?" Aditya terkekeh pelan. "Kau mudah ditebak, ya, Shabira."

Justeru Shabira malah merasa pria dihadapannya sekarang tahu banyak hal tentang perasaannya dan juga jalan pikirannya. Pria itu bukan sekedar menawarkan bisnis padanya, tapi entah Shabira yang terlalu berharap, Shabira merasa Aditya sedikit peduli pada dirinya. Hanya saja, Shabira terlalu takut menaruh perasaan itu, ia takut kecewa, jika nantinya itu hanya kesalahpahaman semata.

"Aku akan memperkanalkanmu pada karyawan di kantorku, Shabira."

Shabira mengangkat wajahnya menatap Aditya sedikit. "Apa saya akan dipekerjakan di kantor Mas Adit?"

Aditya terdiam dengan wajah datar.

Shabira lalu meneguk air putih dari gelasnya karena gugup.

"Menurutmu begitu?" tanya Aditya, tak lama ia tertawa.

Apa yang lucu, batin Shabira.

"Ya Tuhan. Shabira pikiranmu itu, unik sekali."

Unik. Apa yang unik. Shabira tersenyum kaku. "Apa saya salah?"

"Apa menurutmu aku akan memperkerjakanmu di kantorku? Aku menjadikan istriku karyawan begitu?"

Shabira terdiam.

"Astaga. Sudah kukatakan aku akan memperkenalkanmu. Tentu kau sebagai istriku, jelas begitu, bukan? Ya Tuhan ... masa pikiranmu aku akan menjadikanmu karyawanku." Aditya terkekeh. Sudah lama sejak ia tak pernah tertawa selepas itu. Pikiran Shabira memang selalu di luar ekspektasi, sangat menarik.

Shabira menyengir canggung. Rupanya ia amat bodoh. "Maafkan kesalahpahaman saya, Mas."

"Sudahlah. Jangan terus minta maaf," kata Aditya.

Meskipun ia sudah mendapatkan apa yang dia mau dari Shabira. Tapi Aditya merasa itu belum sepenuhnya diberikan Shabira. Ekspresi putus asa dalam diri Shabira masih bisa ia lihat dengan jelas. Juga ketakutan yang terpancar dari wanita itu membuat Aditya merasa belum berhasil menunjukkan perhatiannya. Padahal bukan hal yang mudah baginya untuk menyadarkan diri bahwa ia telah jatuh hati pada sang istri.

Wanita yang biasa-biasa itu. Siapa sangka berhasil mengisi sesuatu yang selama ini ia biarkan kosong begitu saja. Tadinya ia hanya ingin bermain-
main, sambil berpikir mungkin saja bisnis ini menguntungkan baginya. Namun tidak mengira jika Shabira lebih menarik dari dugaannya.

Aditya membutuhkan status pernikahan yang akan menunjang pencapaiannya di dunia bisnis. Memiliki istri yang bisa menemaninya di berbagai acara untuk menunjukkan keberadaannya yang bijaksana di depan khalayak. Itu alasan utama Aditya menikah.

"Tuan, di luar ada nona Valencia. Dia ingin bertemu dengan Nona Shabira." Pelayan muncul mengatakan hal itu. Shabira tersentak, garpu ditangannya yang sedari tadi ia gunakan untuk mengaduk makanan di piringnya pun jatuh saking terkejutnya.

"Aduh, maafkan saya." Shabira hendak mengambil garpu tersebut.

"Biar saya bereskan, Nona." Kemudian pelayan mengambil alih itu.

"Suruh dia masuk," titah Aditya.

Seharusnya Shabira tidak perlu menunjukkan keterkejutannya yang berlebihan itu. Tapi nama Valencia selalu berhasil mengusik hari-hari sebelumnya. Sekarang untuk apa gadis itu datang menemuinya. Padahal ia merasa Valencia tak punya hak mengunjunginya, sebab ia tamu yang tak diinginkan Shabira.

"Kau kelihatan masih amatir sekali, Shabira." Aditya menghampiri istrinya, lalu memegang tangannya.

Shabira mendongak menatap mata Aditya. "Ah, itu...."

"Santai saja. Ayo tunjukkan pada saudarimu itu, bahwa kau adalah saudarinya yang baik."

Mata Shabira menyiratkan sesuatu. Aditya lalu tersenyum.

"Kau kan kakak yang baik. Sambut adikmu, pergunakan aku jika perlu."

Cinderella Nice SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang