18. Klinik Santriwati

1.1K 70 3
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

°°°
"Orang yang imannya paling sempurna di antara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara mereka, dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya"

-HR. At Tirmidzi dan Ibnu Majah-

°°°

°

°

°

Haura masih tak sadarkan diri semenjak ia pingsan tadi. Wajahnya pucat pasi dan di tangan sebelah kirinya telah tertancap selang infus.

Nia yang berada di samping Haura mengusap-usap lembut tangan menantunya tersebut. Ustadzah bilang bahwa Haura hanya kecapean dan kurang istirahat saja.

"Cepat sembuh sayang" monolognya sembari mencium punggung tangan kanan menantunya.

"Assalamu'alaikum, Ummi"

Nia sedikit tersentak, ia mengarahkan netranya memandang putra sulungnya yang sedang berlari terengah-engah menghampirinya.

"Wa'alaikumsalam" jawab Nia.

Hanif mencium tangan Umminya, kemudian memandang iba istrinya yang sedang terbaring lemah di brankar.

"Haura sakit apa Ummi?" tanya Hanif.

"Ustadzah bilang Haura hanya kecapean dan kurang istirahat saja"

"Alhamdulillah, Ya Allah, tidak terjadi hal yang serius" pandangan Hanif tak lepas sama sekali dari Haura.

Seakan paham akan apa yang ingin dilakukan oleh putranya. Nia bergegas keluar dari bilik dan menunggunya di depan bilik tersebut. Ia ingin memberikan ruang kepada Hanif untuk bersama dengan istrinya.

"Ummi tunggu di depan ya. Tadi kamu masuk ke sini aman kan?" tanya Nia, memastikan agar tidak ada yang curiga dengan kehadiran putranya di klinik santriwati tersebut.

"Tadi Hanif masuk ngga ada ustadzah yang jaga, jadi insyaallah aman Ummi"

"Yasudah, Ummi tunggu di depan ya" Nia menepuk kecil lengan putranya, lalu berjalan keluar dari bilik. Ia menutup tirai bilik tersebut, lalu duduk di sofa seberang bilik. Pagi ini tidak ada pasien selain Haura, jadi Hanif bisa dengan tenang melihat istrinya.

Hanif berjalan pelan menghampiri Haura. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Haura, mengecup kening Haura dengan selang waktu yang cukup lama. Ia juga mengelus lembut kepala Haura.

Perasaan senang dan sedih menghiasi hatinya. Ia senang karena bisa berinteraksi sangat dekat dengan Haura, namun juga sedih karena melihat keadaan Haura yang bisa dibilang tidak baik-baik saja. Tak terasa setetes air bening mengalir dari kelopak matanya, lalu disusul oleh tetesan berikutnya.

"Assalamu'alaikum sayang, mas ada disini. Maafin mas yang sudah lalai untuk menjagamu" Hanif masih setia memandang wajah pucat Haura. Berkali-kali ia mengecup tangan istrinya yang dalam kondisi panas tersebut tanpa mengalihkan pandangannya. Air matanya juga masih mengalir, sungguh ia tidak tega melihat Haura begini.

Tangan yang semula mengelus kepala Haura, kini berpindah mengelus pipi Haura. Lembut, itu yang Hanif rasakan ketika pertama kali menyentuhnya. Kemudian Hanif tersenyum memandang wajah ayu istrinya itu.

"Masyaa Allah, dalam keadaan demam pun kamu masih tetap terlihat cantik sayang" monolog Hanif. Ia benar-benar sangat bersyukur Allah sudah menciptakan bidadari yang begitu cantik sebagai tulang rusuk untuk dirinya.

GUS HANIFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang