Can We Meet?

8 5 0
                                    

Pertanyaan demi pertanyaan membanjiri otakku, satu komplek? Florist? Siapa dia sebenarnya. Bagaimana dia tahu? Apa jangan-jangan tetangga yang baru pindah? Tapi sepertinya bukan.

Nama, bisnis ibuku, kontakku, sekarang apalagi? Rumah? Yang benar saja, seberapa banyak yang dia ketahui.

Berulang kali, aku mencoba merangkai kenangan dan meyakinkan diri bahwa ada seorang teman bernama Ansel dalam hidupku. Namun semuanya sia-sia nama itu sungguh sangatlah asing.

Setelah kemarin aku memilih mengabaikan pesannya, kali ini aku menggantinya dengan deretan pertanyaan. Tanpa diduga, dia memilih untuk mengabaikan pesanku, membuat waktu terasa berjalan begitu lambat saat menunggu balasannya. Pikiranku melayang, apakah ini bentuk balas dendam dari dirinya?

Saya:
"Bagaimana bisa kau tahu rumahku?"

Ansel :
"Kamu tidak ingat padaku?"

Saya :
"Memangnya kita pernah bertemu?"

Ansel :
"Tentu saja."

Saya :
"Dimana? Kapan?"

Ansel :
"Dulu"

Saya :
"Aku bahkan tidak tahu namamu."

Ansel :
"Aku sedih deh"

Orang ini benar-benar membuat ku naik pitam, rasa kekesalan menyulut di dalam diriku, terpaku pada cara menyebalkan orang ini membalas pesanku. Sementara itu, kesalahan terbesar mungkin terletak pada kepenasaranku yang menggelayuti diri, membawa padaku pertanyaan terlarang yang terasa semakin meruncing. Untuk apa aku penasaran? Hari ini sial sekali.

Saya :
"Rumahmu di sebelah mana?"

Mau mati rasanya untuk apa aku menanyakan hal itu seakan aku peduli. Terlambat untukku menarik pesan, seakan semesta mendukungnya, untuk hal seperti ini dia langsung membaca dan membalas pesanku.

Ansel :
"Sebelah kanan Cafe Senja Rys"

Saya :
"Cafe Senja? Di mana tu?"

Ansel :
"KAMU TIDAK TAHU CAFE SENJA?"

Saya :
"Cafe baru sekitar sini?"

Ansel :
"Apa benar kamu anak komplek ini? Atau jangan-jangan kamu pindahan?"

Pindahan katanya? Harus nya pertanyaan itu terlontar dari mulutku bukan sebaliknya. Tidak pernah aku mendengar nama Ansel di komplek ini.

Dengan ketik "Cafe Senja" dalam laman pencarian internet, aku terpaku pada hasilnya. Informasi dan foto mengalir begitu cepat, dan hanya dua kata terlontar begitu saja dari bibirku, "Sungguh indah," seraya mataku merayap pada kecantikan yang terpampang di layar.

Saya :
"Cafenya indah sekali."

Ansel :
"Kebanyakan diam di kamar seperti tidak punya kehidupan."

Saya:
"Diam atau kupukul"

Ansel :
"Sebelah kanan Cafe itu ada rumahku."

Saya :
"Aku tidak peduli. Apa menu andalan Cafe itu?"

Ansel :
"Impun goreng"

Lihatlah caranya membalas pesan, sungguh menyebalkan, lihat saja aku tidak akan membalas pesannya lagi.

Tanpa membohongi diri sendiri, aku sangat ingin berkunjung ke Cafe itu. Kapan langkahku akan membawaku ke sana?

Ansel :
"Belum pernah ke Cafe ini?"

Saya :
"Mustahil bagiku tidak tahu jika aku pernah ke sana bodoh"

Ansel :
"Mau ke Cafe ini bersama ku siang ini?"

Senyuman menghiasi wajahku saat mendapat ajakannya, namun bayang-bayang suatu hal penting yang membuatku ragu. Suatu alasan yang membuat ku tidak boleh keluar rumah bersama laki-laki asing.

Meski hatiku ingin berbuat nakal, sekali saja aku hanya ingin merajut cerita di Cafe itu, tanpa harapan bertemu dengannya. Ya aku yakin sekali. Hanya ingin menginjakkan kaki di Cafe itu tidak ada yang lain. Bukankah begitu?

Shin Nerys Barera : "ok".



***

DISHONESTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang