"Maaass!"
Kediaman Hardio tak pernah lagi sepi sejak Janarga hadir di dalamnya. Enam bulan sejak kedatangan pertamanya di kediaman, Hardio kini memiliki anggota baru.
Janarga Swardjaja Hardio, si bungsu keluarga Hardio.
Sengaja, mereka membiarkan nama Janarga tak berubah sedikitpun dan menambahkan nama keluarga mereka ke dalam namanya. Janarga juga berhak tahu siapa keluarganya.
Si kecil tampaknya mudah beradaptasi dengan seluruh anggota Hardio, bahkan Papa yang berada di urutan pertama, kini merasakan peringkatnya menurun terlangkah oleh Mananta, sosok remaja yang menjadi favorit Janarga.
Bagi lelaki kecil itu, Mananta adalah pahlawannya. Tempat Janarga kini mengadu dan mengais kasih. Bagaimana tidak, Mananta yang baru menjadi seorang kakak dari anak kecil berusia lima tahun itu merasakan euforia dalam menjalani harinya. Segalanya, ia bisa berikan segalanya untuk Janarga. Pun bagaimana si kecil merasakan rasa aman dan dikasihi sebegitu besarnya. Selama hampir tujuh belas tahun hidupnya, adanya kehadiran Janar adalah hal yang tak pernah ia duga akan mengubahnya.
Mananta kerap kali tertidur di kamarnya atau selalu memastikan ia tertidur lelap sebelum meninggalkannya, membawakan banyak snack setiap lelaki itu keluar, menemaninya ke kamar mandi di tengah malam, atau bahkan mengusap punggungnya saat ia kesulitan tidur.
"Maass!" Kini si kecil berada di kamar Mananta, duduk di ujung ranjang dengan Mananta yang berada di kursi belajarnya.
"Apa? Butuh sesuatu?"
"Mas sedang apa?"
Si kecil mendekat, berdiri tepat di samping kursi Mananta sebelum lelaki itu meraihnya untuk duduk di pangkuan. "Belajar."
Janarga mengernyit menatap deretan kalimat yang tak ia pahami artinya. Si kecil menutup buku yang tersaji, meletakkan boneka dinosaurus miliknya. "'Main saja! Aku tidak tahu apa itu~"
"Makanya belajar!"
"Aku masih kecil, kata papa boleh bermain dan belajar~"
"Ah, bohong itu. Sudah besar Janar, karena Janar berat!"
"IH! Kalau begitu turunkan! Mau turun!" Rengkuhan Mananta menguat seiring dengan Janarga yang memberontak di atas pangkuannya.
"Turun turun, katanya berat!"
"Bercanda!" Mananta membenarkan letak posisi Janarga. Ia kembali membuka buku belajarnya dan menyerahkan game board kepada Janarga. "Temani mas belajar, main disini saja!"
"Oke!"
Sejak kedatangan si kecil juga, Mananta menjadi seseorang yang lebih mudah tersenyum. Hal ini diakui pula oleh Manuel dan Evianne yang merasa Mananta lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Tak ada lagi kerja kelompok atau bahkan ajakan teman-temannya yang kerap kali ditolak dengan alasan menjaga adik..
Menjaga apanya, Mananta lebih sering membuat Janar menangis atau merajuk kesal kemudian remaja itu kebingungan untuk membujuk si kecil.
"Mas..."
"Hm," Balas si remaja.
Janarga di pangkuan mendongak, mata sabitnya berkedip cepat dengan senyum merekah membuat Mananta kebingungan. "Kenapa?"
"Mas, apa aku lucu?"
Mata sabit itu terus saja mengedip lucu, "No, you're not."
"Kenapa?!" Seru si kecil tak terima.
Mananta menahan senyumnya, tak berkesudahan untuk menggoda si kecil di pangkuannya. "Papa dan ibu bilang aku lucu!" Protesnya.
"Kenapa mas bilang aku tidak lucu?" Bibirnya mengerucut turun, sekali lagi menatap Mananta penuh harap. Mata itu berbinar, "Apa aku lucu?" Tanyanya kembali.
"Aku lucu 'kan?"
"Enggak,"
"IH! Kenapa?"
Mananta tak lagi dapat menahan tawanya, tubuhnya bergetar membuat si kecil dalam pangkuan mendengus kesal. "Menyebalkan! Mananta Jelek!"
"Apa? Ulangi sekali lagi."
"Mananta Je—AHHH jangan gigit hidungku sakit!!"
***
Notes:
Maaf, aku tidak bisa menahan gemas atas slice of life mereka. Happy reading everyone!
KAMU SEDANG MEMBACA
The President and I - Metanoia Series
Romance"Sebenarnya, perpisahan itu akhir atau awal yang baru?" Mananta, presiden negeri ini yang dipatri tanpa celah. Hidupnya terpampang sempurna, tanpa mereka tahu bahwa kisahnya tak seindah itu. Menikahi adiknya sendiri tidak pernah ada dalam benaknya...