"Mau kemana, anak kecil?"
Janarga mempercepat langkahnya keluar dari rumah. Ia tak ingin bertemu dengan Mananta yang menyebalkan itu. Tak perduli bahwa dia sudah rindu besar, kemarin.
"Hei, mas tanya!" Berlari kecil, Mananta meraih lengan si bungsu pelan. Menginginkan perhatiannya, mengingat perilaku anak kecil ini aneh sejak kedatangannya kemarin.
"Baik seperti itu? Mas tanya dan memanggil tapi kamu tidak menjawab, itu baik?"
"Enggak!"
Agaknya sentakan Janarga membuat Mananta berpikir, alisnya menukik tajam. "Lalu kenapa seperti itu? Janarga bukan anak baik lagi?"
"Baik! Tapi tidak usah panggil-panggil aku, aku tidak mau dipanggil kamu Mananta jelek!"
Mananta mengerutkan dahinya tak suka saat tubuh mungil itu pergi menjauh. Janarga meraih sepeda kayuhnya dan pergi meninggalkan halaman rumah.
Tatapannya lekat, tak bergeming hingga sosok Janar hilang ditelan jarak. Mananta bahkan keluar dari pagar rumah untuk memastikan kemana Janarga mengayuh sepedanya pergi.
"Kenapa kamu disini? Tidak mau istirahat?"
Yeremia menyusul sang kekasih sejak si lelaki meninggalkannya seorang diri di dapur dengan tergopoh.
Kini ia temukan Mananta yang masih senantiasa memandang jalanan kosong di depannya, seakan menanti sesuatu. "Apa yang kamu tunggu?"
Mananta menoleh, tak lama memusatkan kembali pandangannya kedepan. "Anak kecil nakal."
"Adikmu?"
Terdiam sejenak, Mananta mengangguk pelan. Nyaris tak terdengar kecuali saat Yeremia mendengar gumaman kecil selanjutnya, "Janarga."
Wanita itu tersenyum, mengusap pelan bahu Mananta. "Kamu pasti sangat menyayanginya. Mungkin dia masih mau bermain. Kita tunggu saja di dalam."
Mananta masih bergeming, alisnya menukik tak begitu suka. Yeremia menggandeng lengan Mananta, memintanya masuk. "Ayo, kita tunggu di dalam. Kamu tidak lelah? Semalaman kamu menjaga adikmu yang bahkan tertidur nyenyak. Jangan sampai kamu benar-benar jetlag, babe."
Benar, pasti bocah itu akan kembali.
***
Mananta terbangun kala rungunya mendengar pekikan tawa dari luar kamarnya. Disebelahnya, Yeremia masih tertidur pulas.
Ia memutuskan untuk menaikkan suhu air conditioner dan juga selimutnya sebelum pergi meninggalkan sang kekasih.
Di bawah sana, ia bisa melihat Manuel-sang papa, tengah bersenda gurau dengan anak kecil yang menghindarinya sejak kemarin.
Mana, katanya rindu?
Semakin langkahnya mendekat, semakin kuat rungunya menangkap tawa Janarga dan Manuel.
Hatinya menghangat, sesungguhnya ia rindu berada di tengah keluarganya. Syukurnya, Yeremia membuatnya lebih baik.
"Asik banget, what are you guys doing?"
Kedua lelaki beda generasi itu berhenti, netranya menangkap sosok Mananta sebelum Manuel menepuk sisi sofa yang kosong, meminta Mananta bergabung.
"Aku tidak mau dekat dengan mas!"
Manuek menangkap gelagat aneh dari si bungsu, memeluknya dan membawa si bungsu ke sisi yang lain. "Benar? Nanti kangen sama mas, terus nangis minta-"
"Ssssttt!" Telapak tangannya menutup mulut Manuel erat. Khawatir, rasa rindunya kemarin diungkap di depan lelaki jelek itu. "Papa, itu rahasia!"
Mananta yang berdiri memutar mata,"Bohong itu pa, kalau kangen mas harusnya dipeluk. Tadi mas panggil saja malah main pergi."
"Kamu itu ngeselin!"
"Mas diam ya, mas panggil malah ditinggal naik sepeda. Sopan enggak pa?"
Bibir si bungsu mengerucut, tubuhnya beringsut masuk ke dalam dekap Manuel saat mendengar kalimat yang Mananta lontarkan dengan nada dingin.
Si sulung terduduk di sebelah papa, mengapit papa diantara dirinya dan Janarga.
"Apa pernah papa ajarin untuk tidak sopan seperti itu?"
Lagi, kalimat yang Mananta lontarkan membuat Janarga kecil. Matanya berkaca, hatinya terasa ngilu akan ucapan Mananta yang ada benarnya.
Manuel di tengah hanya diam, berusaha memahami apa yang anak-anaknya ini perdebatkan.
"Janar tadi dipanggil mas?" Si kecil mengangguk, menimpali pertanyaan Manuel. "Benar kalau Janar tidak respon mas dan tinggalkan mas naik sepeda?"
Tanpa sadar, bulir airmata mulai turun tanpa suara. Janarga menatap Manuel dengan rasa bersalah diikuti tetesan pilu tanpa bisa bersua.
"Enggak boleh begitu, nak. Masnya kan bertanya, memanggil. Harusnya Janar menjawab."
Manuel mengusap airmata di pipi si kecil, "Kan tidak sopan sast kita meninggalkan orang yang sedang berbicara kepada kita. Kita tidak boleh berbuat tidak sopan dan menyakiti hati orang lain, ya, nak?"
Janarga mengangguk cepat,masuk ke dalam rengkuhan Manuel saat lelaki dewasa itu membuka kedua tangannya.
Dipeluknya erat Manuel dan baru suara tangisnya terdengar. "Minta maaf, papa."
Manuel menepuk pelan punggung janar, menenangkan lelaki kecilnya. "Iya, papa maafkan dan Janar harus bersikap lebih baik, ya?"
Anggukan kecil terasa di bahu Manuel, "Minta maaf ke mas juga, nak." Ia lepaskan dekapan itu, sehingga merah muka si bungsu tampak jelas.
"Minta maaf, mas," berujar lirih, Janarga tak melepas rangkulannya di leher Manuel.
"Apa? Mas kurang denger, anak kecil."
Masih saja menggodanya, paps menggelengkan kepala tak habis pikir.
"Janar minta maaf, mas."
"Peluk mas, nanti mas maafkan." Uluran tangan Mananta kini berbalas. Si bungsu berpindah dalam dekapan Mananta, memeluk erat leher si sulung diikuti isak tangis yang mulai terdengar.
"Iya, mas juga minta maaf ya, sayang."
Kali ini, dekapannya terasa pas dan melegakan hati. Mananta benar-benar merasa pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The President and I - Metanoia Series
Romantizm"Sebenarnya, perpisahan itu akhir atau awal yang baru?" Mananta, presiden negeri ini yang dipatri tanpa celah. Hidupnya terpampang sempurna, tanpa mereka tahu bahwa kisahnya tak seindah itu. Menikahi adiknya sendiri tidak pernah ada dalam benaknya...