"MANANTA JELEEEK! AKU DISINI HEI!"
Umurnya sebelas tahun saat ia menunggu kedatangan si sulung, Mananta Maharaja Hardio pulang dari tanah seberang.
Membawa papan nama yang bahkan sama besar dengan tubuhnya, menggoyangkan sambil sesekali melompat tak sabaran.
Siapa yang tak tahu bahwa ia membuat seluruh mata berfokus padanya?
"MANANTA!"
"Males jelek, anak kecil jelek." Tak perduli, Janarga memeluk erat si sulung yang baru saja keluar menggeret kopernya. "Kalau masih berisik, mas masukin koper ya, kamu!"
Janarga mendongak, menggerakkan jari di depan bibir bak menutup resleting. "Aku diam."
Saling mendekap, kedua insan berbeda usia itu tampak melepas rindu. Tak urusan dengan sosok lain yang juga sama menanti hadir si sulung.
"Papa peluk dulu dong, adek."
Janarga melepas rengkuhan, namun tetap tak meninggalkan jarak dengan Mananta. Bahkan memegang erat celana jeans milik si sulung.
Mananta mengangkat tubuh kecil Janarga, membalas pelukan Manuel dan Evianne dengan Janarga di rengkuhannya.
"Sehat, nak?"
"Ibu kangen anak baik..."
Janarga kecil berseru tak ingin kalah, "Aku juga, aku juga!"
"Juga apa?"
"Kangen kamu, Mananta jelek!" Serunya kesal . Mananta ini kenapa selalu berpura-pura bodoh atau memang bodoh sih?
Gelak tawa diikuti serentetan tanya menjadi sambutan Mananta. Ia menurunkan tubuh Janarga sebelum akhirnya menarik tangan seseorang yang sedari tadi mengamati mereka dalam diam.
"Ibu, papa, dia Yeremia, kekasihku. Dan babe-mereka keluargaku."
Janarga mendongak, menatap wanita dengan balutan dress lilac bermotif bunga disebelah Mananta. Tampak anggun dan cantik, tapi tentu saja ibu yang paling cantik-dan bunda!
Ibu dan papa tampak tersenyum menyambut ramah gadis tersebut.
"Kamu pasti Janarga, adik dari Mananta." Yeremia menunjuk Janarga, kemudian mengelus pelan surai legam miliknya. "Kekasihku banyak bercerita tentang kamu, anak lucu!"Usapan itu ditepis Janarga spontan dan tangan yang tergantung itu ditinggalkannya begitu saja di balik tubuh Manuel. "Aku bukan adiknya, aku Janarga! Iya, kan, pa?"
Mereka tertawa dan membuat si kecil semakin merengut tak suka. Terlebih tangan Mananta yang bertengger di pinggang wanita itu.
"Ayo makan, kamu pasti lapar anak kecil!"
Dan Mananta meninggalkan mereka setelah mengucapkan kalimat itu dengan tangan yang bertengger di bahu Yeremia.
Iya, memang Mananta ini tetap dan selalu menyebalkan!
KAMU SEDANG MEMBACA
The President and I - Metanoia Series
Romantizm"Sebenarnya, perpisahan itu akhir atau awal yang baru?" Mananta, presiden negeri ini yang dipatri tanpa celah. Hidupnya terpampang sempurna, tanpa mereka tahu bahwa kisahnya tak seindah itu. Menikahi adiknya sendiri tidak pernah ada dalam benaknya...