0.9 Awal Yang Baru

971 112 12
                                    

Tiga bulan lalu, seharusnya Mananta sudah pergi ke benua seberang. Sebagaimana rencana yang ia buat sejak memasuki bangku menengah atas.

Namun nyatanya, hatinya memberat. Kian memberat ketika sehari sebelum jadwal kepergiannya si kecil demam tinggi yang membuatnya khawatir setengah mati. Evianne dan Manuel tak menahannya, tak ingin menghambat apa yang menjadi mimpi si sulung sejak awal.

"Mas, tidak apa-apa. Janarga hanya demam karena imunnya sedang turun. Biasa, pergantian musim." Begitu yang diucap Manuel malam itu.

Si sulung tak bergeming, ia masih terduduk di tepi ranjang dengan tangan senantiasa menggenggam tangan yang lebih muda.

"Besok berangkat dari rumah pagi ya, mas. Pak Adi yang antar sama papa ya, maaf ibu belum bisa antar mas."

Bahkan hingga fajar menyingsing, si Hardio muda tampak enggan untuk beranjak.

"Mas, ayo siap-siap."

"Janarga bagaimana, pa?"

Manuel mengerut bingung, mengusap punggung si sulung yang sejak semalam hanya diam tak bergeming. "Apanya yang bagaimana, mas? Janarga sudah diperiksa oleh dokter. Ada ibu, ada papa. Apa yang membuat kamu khawatir sebenarnya?"

Apa, ya? Mungkin karena Janarga sakit sekarang?

Atau karena ia sebenarnya tak mau meninggalkan si muda.

Tak ada balasan, namun bahu lunglai itu telah menjawab.

Langkahnya lunglai, sebab menoreh alasan pun tak cukup di akal, ia rasa.

Bahkan ketika terdengar suara pertanda akan keberangkatannya, Mananta masih termenung. "Janarga belum bangun, ya, pa?"

"Nanti kalau sudah bangun, papa telepon mas ya. Sudah, sana masuk."

Tujuh belas jam, ia tak sanggup rasanya untuk mengudara tanpa setidaknya mendengar suara si muda.

Ia pergi tanpa seucap kata, meninggalkan si muda yang masih terlelap karena obat.

Tujuh belas jam, terlampau akan menyesakkan saat tubuhnya baru ia dudukkan dan mendengar dering telepon dari Evianne.

Terpampang jelas bagaimana merah wajah si muda, entah karena demam atau tangis yang belum terhenti.

"Mass—" napasnya terhenti kala hela napas si muda tersengal juga. "Mas, aku ikut..."

Hah, sesak.

Tangannya mematung, yang ia mau adalah usap pilu yang turun satu persatu.

"Mas, jangan tinggal aku..."

"Mas tidak tinggal, sayang. Nanti mas pulang ya..."

Rengekan itu kian terdengar, Mananta tak tahan.

Jangan disembunyikan, wajah merah itu. Karena Mananta tidak yakin bisa menghabiskan tujuh belas jam tanpa melihat raut si muda.

"Mas akan pulang, sayang. Mas janji."

***

Satu bulan pertama adalah bentuk adaptasi tersulit untuk Mananta.

Rasanya hampa.

Rumah masa kecil yang ia mimpikan tinggal disini selamanya, sepi. Ia tidak suka.

"Janarga dimana, bu?"

"Di rumah, mas. Ibu masih di yayasan."

"Kapan ibu pulang? Di Indonesia harusnya sudah jam 3 sore kan, bu?"

Evianne mengernyit, "Iya dan ibu pulang jam empat seperti biasa, mas."

Diseberang sana Mananta tampak gelisah, berulang kali mengubah posisinya di atas ranjang.

"Kenapa sih, mas?"

"Bu, Janarga enggak dibelikan handphone sendiri? Kalau ada apa—"

"Ada mbak sama si mbok di rumah."

"Ya, nanti kalau Janar butuh—"

"Adikmu itu masih Kindergarten mas, butuh untuk apa handphone itu?"

Mananta menggaruk tengkuknya, "Butuh telepon ibu atau papa?"

Evianne menggeleng, anak sulungnya memang sangat aneh. "Ah, sudah ah, mas. Ibu mau lanjut baca dokumen. Janarga bisa pakai handphone mbak atau mbok. Kamu kalau mau telepon nanti deh ya, ibu telepon lagi. Sana pergi mandi, baunya sampai Setiabudi!"

***

"MASSS! Halo anak jelek!"

Begitu ia mengangkat panggilan video Manuel, yang tersaji adalah lengkung pada binar Hardio kecil yang memenuhi layar.

"Janarga jelek, seperti bebek,"

Janarga semakin mengerucutkan bibir, "Kamu abang bebek!"

Tujuh jam tak penting untuk Mananta. Meski matanya baru saja terpejam, kala rungunya menangkap dering telepon Manuel, maka sudah tentu ia akan mengangkatnya. Tak peduli jam berapa sekarang dan dimana ia berada.

"Mas, aku pinjam handphone papa untuk telepon. Papa sedang mandi~"

Mananta berusaha menjaga matanya untuk tetap terbuka. Sebab tak apa, ia bisa tidur nyenyak setelahnya.

"Hm, sudah pakai seragamnya?"

Janarga mengangguk kecil, menyandarkan ponselnya agar dapat berdiri tegak kemudian mengambil beberapa langkah mundur.

"Sudah pakai baju biru~ aku tidak bisa pakai dasi. Ibu yang pakaikan..."

Mananta mengangguk penuh senyum, si muda Hardio tampak menggemaskan dengan rambut setengah basah yang turun.

"Bagus, sayang. Nanti minta belajar ke ibu ya."

"Huum..."

Mananta mendengar celotehan tak tentu diikuti gerak kamera yang sembarangan.

Sesekali menimpali ucapan si muda, menggodanya hingga terdengar pekikan kesal.

"Aku sudah petik bunga mawar di taman ibu! Aku kasih ibu, papa, dan oma. Nanti aku kasih ke kamu ya, mas!"

"Enggak, mas gak mau bunga dari anak kecil."

Janarga disana bersedekap dada, "Aku masih proses pertumbuhan!"

Tawa Mananta terdengar, "Kalau begitu tunggu kamu besar, baru mas mau bunga mawarnya."

Janarga menghela napas, "Kata Miss Zizi, mawar itu tanda cinta. Aku cinta kamu, mas! Kalau tunggu besar, lama! Nanti cintanya hilang!"

"Enggak akan hilang, cintanya semakin lama akan semakin besar."

"Iya?"

Mananta hanya bergumam dengan mata yang tak lepas dari si kecil.

"Kalau begitu aku kasih mawarnya ke Mas Laravel saja!"

"Hei, mana bisa begitu?!" Mananta melotot, terkejut akan jawaban si kecil. "Bagaimana bisa kamu kasih bunga ke orang lain?"

"Mas Laravel itu temanku, bukan orang lain! Dia temani aku makan dan main, aku cinta dia!"

Mananta berdecak kesal, "Enggak, gak boleh seperti itu. Kamu tidak boleh bilang cinta sembarangan, anak kecil!"

"Lalu bagaimana?"

"Taruh bunganya di kamar mas, minta air dan vas ke mbok. Jangan dikasih ke orang lain, ingat!"

Janarga diam saja, menatap sengit Mananta yang aneh itu.

"Janarga Hardio, dengar!"

"Ish! IYA IYAAAA! Mboook, adek minta tolong ambil pot dan air untuk bunga—"

Hah, sepertinya tugas Mananta untuk menjelaskan batasan kepada Laravel kini.

The President and I - Metanoia SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang