Keluarga Hardio tidak pernah gagal dalam menyelenggarakan pesta mewah nan meriah. Terbukti dalam pernikahan sepupu mereka—Johnny Hardio, yang terselenggara apik sejak pagi tadi.
Di tepi pantai, para dewasa memilih berdansa mengikuti irama.
Tak ada lagi anak seumurannya, mereka sudah kembali entah sejak kapan. Janarga menatap iri kepada Evianne dan Manuel yang berdiri tak jauh dari sana.
Ia ingin menjadi dewasa segera, agar bisa bercengkrama dengan satu sama lainnya. Semuanya nampak sibuk, sedang ia kebingungan dan mengantuk.
"Ayo, kembali ke kamar, sayang."
Mananta memang penyelamatnya, datang tepat waktu saat dirasa ia tak lagi bisa menahan kantuknya.
Berjalan beriringan, meninggalkan riuh yang dihiasi bintang.
"Aku mau tidur sama ibu saja, kamu di Villa sama papa."
Mananta menggeleng, "Mas takut ada hantu. Sudah, tidur di kamar mas saja."
"Ya sama papa."
"Papa belum kembali."
Mananta meraih keperluan Janarga dengan cepat. Meraih si bungsu untuk membersihkan diri. "Sana mandi, airnya sudah hangat. Baju ganti ada di dekat wastafel. Mas mau keluar angkat telepon sebentar."
Nyatanya, sebentar yang diucap Mananta tidak benar adanya. Bahkan tiga puluh menit setelah ia selesai membersihkan diri.
"Dimana si jelek itu?!"
Janarga sebenarnya tidak takut, namun dia tidak suka sendirian di ruang asing. Terlebih ini tempat baru untuknya.
Meninggalkan pesan singkat untuk Mananta, kemudian Janarga memutuskan untuk tidur lebih dahulu. Tubuhnya sudah lelah.
***
"...Maaf harus mengganggumu..."
"...Johnny dan Ten sedang mengusahakan kamar lain..."
"It's okay..."
Matanya mengerjap pelan saat bising tertangkap inderanya. Ruang santai di tengah tampak menyala, sepertinya karena Mananta kembali.
Ia melanjutkan tidurnya meski rasanya tidak nyaman, entah mengapa. Mungkin karena Mananta belum kembali, mungkin karena ini bukan kamarnya, mungkin juga karena kini ia merasa tenggorokannya begitu kering.
Tidak ada gelas disamping nakas, ruang tengah juga telah remang kembali.
Ia menoleh ke samping, memastikan tidak ada sosok yang lebih tua beristirahat. Ini bahkan sudah dini hari.
"Mas..."
Langkahnya berjalan pelan, sebab kantuk masih mendominasi. Semakin langkahnya mendekat, jantungnya berdentam semakin kuat ketika bisikan, desah napas terburu juga tertangkap rungu.
Ia mundur selangkah, sepertinya ini yang membuat Mananta menahannya sendiri disini. Sungguh ada hantu di kamar ini.
Janarga yakin benar, suara itu berasal dari balik sofa di ruang tengah. Namun, temaram bahkan tidak berhasil membantunya melihat apa yang terjadi di ruang tengah.
"Mas, kamu dimana?!" Janarga memberanikan diri memanggil, meski dirinya seakan bergetar takut karena sofa itu tampak bergerak. "Mas!"
"Hei, mas—mas ada disini!" Mananta menyahut, diikuti kepalanya yang muncul dari balik sofa. "Do you need something?"
Janarga berjalan cepat kearah Mananta, "Tadi aku dengar ada suara—"
"STOP! Berhenti disana, Janarga!" Pekikan itu menghentikan langkah Janarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
The President and I - Metanoia Series
Romansa"Sebenarnya, perpisahan itu akhir atau awal yang baru?" Mananta, presiden negeri ini yang dipatri tanpa celah. Hidupnya terpampang sempurna, tanpa mereka tahu bahwa kisahnya tak seindah itu. Menikahi adiknya sendiri tidak pernah ada dalam benaknya...