Menghadapi keterdiaman Janarga adalah hal yang tak pernah Mananta bayangkan sebelumnya.
Terbiasa dengan berisik si kecil, kini Mananta merasa asing dengan sikap yang lebih muda. Tak ada pelukan, tak ada aduan, bahkan tak ada Janarga yang merengek kepadanya. Eksistensinya dalam seminggu terakhir banyak tak dihiraukan.
Mananta kebingungan, meski ia masih tetap menghabiskan pagi untuk sarapan bersama dan kembali di sore hari, waktunya bersama Janarga benar-benar tidak ada.
Anak itu disibukkan dengan les atau pun bermain keluar saat tidak ada jadwal, terkesan menghindari Mananta sebisa yang dia lakukan.
Hingga malam ini, Mananta tidak bisa menahannya lagi. Ia harus berbicara kepada Janarga.
Apa yang dipikirkan Janarga, apa yang akan dilakukannya, Mananta harus tahu.
"Janarga, boleh mas masuk?" Ketukannya tak menghasilkan apapun.
"Janar, sudah tidur?"
Mananta memang tidak bisa lebih sabar jika menyangkut Janarga, sehingga ia putuskan untuk membuka pelan pintu kayu di depannya.
Remang, hanya lampu di atas meja belajar yang menyala.
Bahkan ini masih jam delapan malam, terlalu sore untuk tidur.Ditangkapnya buntalan di balik selimut yang menggelung, tampak tenang tanpa ada gerak berarti.
Kakinya cepat melangkah, menarik pelan selimut yang membungkus sosok Janarga yang beranjak tumbuh.
Senyumnya mengembang merasakan hangat yang menyeruak. Ah, sudah berapa lama mereka tidak tidur bersama dan menghabiskan waktu untuk bercerita?
Mananta mengusap teratur kepala Janarga yang membuat lelaki itu semakin memeluk erat boneka dino hadiah ulang tahunnya yang ke delapan dari Mananta.
Tak perlu berbicara, nyatanya Mananta sudah merasa damai dengan menatap hadirnya.
"Mas minta maaf, ya, sayang." Tangannya membelai lembut pipi tembam—takut membangunkan. Mananta merapikan selimutnya, sedikit menaikkan.
"Mas minta maaf sudah membuat kamu kesal, kalau mas tetap di rumah mas takut. Mas takut akan menyadarinya lebih dalam."
Bahkan tanpa sahutan, Mananta masih saja setia mengusap kening Janarga.
Sudah cukup, melihatnya didekatmu sudah cukup.
Mananta membubuhkan kecupan hangat, bahkan lebih lama dari yang biasa ia berikan kepada Yeremia. Menyalurkan seluruh perasaannya yang tak menentu.
Bahkan hingga di ujung pintu, sebagian dirinya enggan meninggalkan sisi yang lebih muda sebelum benar-benar pergi menemani Yeremianya.
***
Janarga menuruni tangga saat perutnya benar-benar keroncongan. Tidur lebih lama membuatnya kelaparan. Bahkan ia sampai lupa tidak memakan snack dari lelaki itu.
Tidak perlu diragukan, ia sudah beranjak dewasa. Kegiatan kecil seperti merebus mie atau menggoreng bukan hal yang asing. Terlebih dia juga lebih sering membantu Evianne—atau Wendy saat di panti.
"Apa yang bisa aku makan?" Tangannya bergerak membuka satu persatu counter. Berusaha menemukan apa saja yang bisa mengganjal perutnya saat surya bahkan belum muncul. Terlalu awal untuk membangunkan seisi rumah di jam tiga pagi.
"Cari apa?"
Tubuhnya terlonjak kecil mendengar suara berat nan serak yang jelas ia tahu milik siapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The President and I - Metanoia Series
Romance"Sebenarnya, perpisahan itu akhir atau awal yang baru?" Mananta, presiden negeri ini yang dipatri tanpa celah. Hidupnya terpampang sempurna, tanpa mereka tahu bahwa kisahnya tak seindah itu. Menikahi adiknya sendiri tidak pernah ada dalam benaknya...