"Anaknya lucu sekali, papa! Tapi sepertinya masih takut sama ibu," Bibir tipis itu melengkung ke bawah, membawa tawa kecil dari kedua lelaki Evianne di seberangnya.
"Ibu memang menakutkan, apalagi kalau marah."
"Mas!" Evianne berseru tak setuju atas ucapan anak lelakinya.
Dia tidak semengerikan itu!
Ia masih saja bersedih dan sedikit kecewa kala ingatannya memutar memori kemarin saat lelaki kecil itu masih nampak ketakutan saat berbicara dengannya.
"Padahal ibu yang pangku, ibu pegang tangannya waktu mau ambil darah." Evianne mengaduk tehnya pelan, menyesapnya tanpa hilang kesedihan di matanya. "Sungguh, ibu rasanya mau bawa pulang aja."
Manuel hanya menggeleng, tak terkejut dengan pemikiran acak istrinya.
"Kalau bikin ibu sedih begitu, nanti papa beneran datang untuk marahin. Istriku kok dibuat sedih."
Evianne mencibir ucapan sang suami, matanya mendelik tak suka. "Anak aku itu, kamu jangan aneh-aneh."
"I AM your son, by the way."
Evianne mengangguk singkat, mengunyah roti bakar di mulutnya sebelum melanjutkan kalimatnya. "Tapi enggak lagi, ibu mau punya anak lagi, ya dia."
Kali ini dua lelaki Hardio itu saling memandang, mengedikkan bahu seolah tak peduli. Nanti juga hilang sendiri pikiran itu.
Mungkin.
Namun nyatanya, tidak.
Disinilah Manuel saat ini, berada di panti asuhan milik yayasan sang istri tepat tiga hari setelah kalimat yang terus saja Evianne ulang sehari-hari.
"Nanti ibu bawa dia ke rumah."
"Pa, akhirnya kita punya bayi lagi."
"Yang baik dengan adiknya nanti, ya, mas."
Ulangan kalimat tersebut membawa rasa penasaran Manuel meningkat. Si kecil yang ini, si kecil yang itu.
Mana lelaki kecil yang telah berhasil merebut atensi istrinya dan membuatnya jatuh cinta itu?
Dengan kemeja hitam dan celana kain miliknya, ia melangkahkan kaki ke arah taman di samping gedung. Matanya memindai satu per satu anak mereka yang sedang asik bermain. Sesekali ia tersenyum, melambai, bahkan bergabung dalam permainan saat anak-anak tersebut memanggil namanya.
Hingga netranya menatap sosok lelaki kecil yang tampak asing dengan mobil-mobilan di tangan kanannya tengah asik berdiri tak bergabung dengan yang lain.
Tangannya terkadang naik turun seakan membuat jalurnya sendiri.
"Whuussshh."
Semakin ia mendekat, semakin tampak pipi penuh dengan mata berbentuk sabit kala tersenyum. Persis seperti sang istri.
"Naik, tuluuun~, belok ke kanaaaan~" Tangan kecilnya bergerak tak tentu, kini diikuti langkah kecil yang berputar.
Manuel terpaku, menghentikan langkah untuk menatap lebih lama si kecil yang belum ia tahu siapa. Tak berniat mendekat, namun hatinya menghangat saat senyum itu menarik ekor mata si kecil yang tanpa sadar juga membawa senyum lembut pada wajah Manuel.
Seperti tahu sedang diperhatikan, Janarga menghentikan geraknya. Matanya menangkap sosok lelaki dewasa yang berdiri tak jauh darinya.
Tegap, seakan bisa melindunginya dari marabahaya.
Hangat, bahkan hangatnya seperti sinar mentari di sore ini. Membawa nyaman hingga ke hati.
Janarga menarik senyumnya lebih lebar dan berlalu dari hadapan Manuel, "Whuusssh, balap-balap!"
Meninggalkan Manuel yang masih berdiri di tempatnya tanpa mengedipkan mata memkndai sosok kecil Janarga hingga raga tersebut hilang di balik ruang.
"Kan, apa ibu bilang! Gak percaya sih!"
"Kapan atur urus dokumen bu? Bisa secepatnya dibawa pulang?"
"Barang kali ah! Sana pa, kejar sampai dapat hatinya!"
Evianne mendorong sang suami untuk masuk ke dalam gedung, mencari sosok yang memang berhasil membuat mereka jatuh cinta.
"Papa harus bilang apa?"
Evianne memutar matanya malas, "Halo, Janar. Ini papa."
"Kabur nanti, ibu!"
"Ya bilang apa kek, ih papa ini! Sudah sana!" Diikuti lambaian tangan Evianne saat Manuel melanjutkan langkah masuk.
Mengikut intuisinya, tak sulit Manuel menemukan ruang bermain di dalam gedung dan benar saja, si kecil Janarga tengah asyik bermain sendiri dengan mobil-mobilan miliknya.
Gumaman kecil terdengar di indera Manuel, membuat ragunya menipis dan mendekatkan langkahnya.
Ia asik menatap lelaki kecil yang sedang memunggunginya, melihat bagaimana gumaman dan tangan kecil itu bergerak mengikuti imajinasi.
Manuel tak kehabisan ide untuk menunjukkan kehadirannya. Ia menarik pelan mobil di dekatnya hingga mobil itu berhenti karena menyentuh ujung kaki si kecil.
"Eh!"
Janarga berbalik dan menemukan lelaki tadi berada disini.
"Mobil?"
Tangan kecilnya terulur dan jangan lupakan mata bulat dan pipi penuh itu!
"Boleh main bersama?"
Janarga mengangguk kecil, menarik mundur mobilnya sebelum mobil itu melaju ke arah Manuel.
Tawanya terdengar nyaring, paling nyaring sejak ia tinggal disini kala ia dan Manuel saling menabrakkan mobil ke arah masing-masing.
"Awas! Polisi datang, whoosh!"
Sekali lagi, gelak tawa kecil itu membuat Manuel menghangat. Sepertinya, Tuhan akan mendengarkan doa mereka kali ini.
"Awas, polisyiii~ wiu wiu~"
"Ah, tertangkap!" Manuel menjatuhkan tubuhnya bersandiwara. Namun tak ia duga bahwa Janarga melakukan hal yang sama.si kecil terjatuh tepat di atas tubuhnya dengan sandiwara yang sama. "Huft, tangkap!"
Manuel tertawa, meraih Janarga dan mengangkatnya tinggi di atas.
"Terbang, terbang!"
Ruang itu tampak ramai hanya dengan kedua lelaki yang asik dengan dunianya. Sesekali saling menggelitik, saling bersandiwara kendati belum lama mereka bersua.
"Capek?"
"Capek telbaaaang!"
Manuel mendekap tubuh kecik Janarga yang tengkurap di atasnya, menstabilkan deru nafas yang tak dipungkiri lebih berat dibanding pergi berolahraga.
"Janarga, bobok?"
"Bobok apa?"
Manuel tertawa kala mata si kecil yang sebelumnya terpejam menjadi terbuka atas pertanyaannya. "Tidur, nak. Mengantuk?"
"Hum," gumam Janarga. Si kecil semakin menyamankan diri, mendekap tubuh besar Manuel mencari rasa aman.
"Janar bobo?"
"Iya, Janar bobok. Selamat bobok, nak."
Semoga mimpi indah dan temui Manuel di mimpi ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
The President and I - Metanoia Series
Romansa"Sebenarnya, perpisahan itu akhir atau awal yang baru?" Mananta, presiden negeri ini yang dipatri tanpa celah. Hidupnya terpampang sempurna, tanpa mereka tahu bahwa kisahnya tak seindah itu. Menikahi adiknya sendiri tidak pernah ada dalam benaknya...