"Biarkan saja dia, biarkan dia menyusul kedua orang tuanya. Merepotkan."
Janarga masih ingat, kala itu hujan turun. Entah sedang Siang atau sudah gelap malam.
Ruangannya terlampau kecil, tidak ada cahaya masuk kecuali dari celah pintu itu.
Sesak, yang ia rasa hanya hampa di hati dan sungguh sesak.
Ia tak bisa melakukan apapun. Ia juga tak tahu, mengapa ia dibawa kemari setelah ibu dan ayah pergi.
Janar hanya ingin bersama ibu dan ayah, bukan mereka.
Tangisnya lagi-lagi keluar, yang ia lakukan menahan isakannya seperti sebelumnya. Takut terkena marah, lagi.
"Ibu..."
Kini ia bisa dengar suara kunci diputar. Tangan kecilnya mengusap cepat sisa pilu yang masih tertinggal.
"Bangun? Cepat mandi, kita akan pergi."
Janarga bahkan belum menjawab saat tubuhnya sudah dipaksa untuk beranjak.
Wanita itu menariknya kearah kamar mandi, mennyiram tubuhnya bahkan dengan pakaiannya yang masih melekat sempurna.
"Tolongh—ding—in."
Ia berusaha menarik napas setiap aor selesai diguyur, tubuhnya menggigil tapi wanita itu tampak tidak perduli.
Lagi dan lagi, air itu tak henti disiram pada tubuhnya.
"Berhenti. Maaf, berhenti.""Ganti pakaianmu." Wanita itu melempar pakaiannya di bawah kaki, tentu kini tak sepenuhnya kering.
Janarga ini bingung, bagaimana cara melakukan hal itu?
"Gak bisa ganti baju kamu?!"
Janarga menggeleng pelan, kalimat selanjutnya ia tak paham betul artinya. Tapi nampaknya membuat wajita itu marah. Ia harus belajar memakai bajunya sendiri.
"Menyusahkan."Tak butuh waktu lama untuk wanita itu mengganti pakaiannya.
Janarga kini harus mengikuti langkah cepat wanita itu.Ia takut, sekelilingnya gelap dan tidak tahu dimana.
Hujan lagi-lagi menyentuh kulitnya, bibirnya bahkan tak bisa tertutup sempurna karena dingin menusuk raganya.
Di depan sana, ia bisa lihat rumah besar dengan lampu warna-warni.
Tampak cerah semakin terlihat saat langkahnya mendekat.
Benar saja, wanita itu membawanya kesana. "Tunggu disini, jangan kemana-mana!"
Janarga diam memperhatikan wanita yang mendekat kearah pintu. Mengetuknya kasar berulang kali.
Kepalanya pusing, ia bahkan sudah lupa juga kapam terakhir kali perutnya terisi.
Sayup-sayup diantara kesadarannya, kepalanya berisik.
Seakan ramai sekali orang disekelilingnya.
"Hei, dengar!" Kini wanita itu dihadapannya, melilitkan syal merah terang di lehernya. "Hidup disini, jangan pergi kemana-mana dan jangan cari aku."
Janarga bingung, kenapa wanita itu meninggalkannya sendiri disini?
Semakin lama, langkah wanita itu semakin menjauh. Bahkan kini ia tak bisa melihatnya dengan jelas, entah karena sisa air hujan atau air mata yang kini turun.
Yang ia ingat terakhir kali, hanya rasa hangat di tengah kedinginan itu.
Hangat, seperti dekap ibu malam itu.
***
"Ramai ya, nak? Nanti setelah Janarga sembuh, kita bisa bermain dengan kakak-kakak ya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The President and I - Metanoia Series
Romance"Sebenarnya, perpisahan itu akhir atau awal yang baru?" Mananta, presiden negeri ini yang dipatri tanpa celah. Hidupnya terpampang sempurna, tanpa mereka tahu bahwa kisahnya tak seindah itu. Menikahi adiknya sendiri tidak pernah ada dalam benaknya...