"Diam seribu bahasa,"
"Dan hati kecilku bicara.."
"SEMUANYAA!"
"BARU KUSAAADARIII, CINTAKU BERTEPUK SEBELAH TANGANNN-"
"BERISIK WOY!"
Satu sabetan handuk apek setengah basah itu menyentak muka Taufan sampai dia mengaduh kesakitan. Laki-laki bermata biru yang hanya mengenakan celana bola pendek di atas lutut dan kaos putih polos kebesaran dengan tangan yang sedang sibuk menggenjreng-genjreng gitar di balkon lantai dua kosan tempat ia tinggal di kota perantauan-milik ayah sahabat karibnya sejak sekolah menengah-refleks saja Taufan menyumpah-nyumpah kemudian.
"BAU ANJIR! Gak pernah lo cuci apa?" Taufan lantas melempar kembali handuk apek itu ke wajah pria gempal dengan kulit kecoklatan yang sudah menukikkan alis di depannya.
"Biar lo tau diri, ya anjing! Demi Allah ini jam satu siang, dan bapak gue lagi sakit gigi dan lo genjreng-genjreng gitar sambil nyanyi pake suara kayak tikus kejepit!" Gopal mendadak naik tensi, mungkin karena dia lelah diomeli dari tadi oleh ayahnya.
"Lah elu yang dimarahin, kok nyalahin gue???" Taufan menyangkal tanggungjawabnya sembari berdecak. Ia lantas memindahkan gitarnya, membetulkan posisi gitar kesayangannya yang jadi hadiah ulang tahun pertamanya di umur tiga belas tahun.
Lanjut, lur.
"WOI, UDAH BERENTI." Gopal lantas menarik paksa gitar itu dari pangkuan Taufan saat laki-laki itu mulai menggenjreng-genjreng lagi.
Agaknya, laki-laki bermata biru itu sudah hilang akal-walaupun sejak kecebong, Gopal yang paling tau bahwa Taufan memang sudah jadi bedebah sejati. Tapi, bernyanyi dengan suara cempreng dan menggenjreng gitar di tengah hari saat bapaknya sakit gigi itu lebih bikin stress daripada menghadapi kucing sinting yang mabok karena makan biskuit beracun di gang sebelah. Demi Tuhan, Gopal sudah angkat tangan saat dia dari tadi dijadikan objek fitnah suara cempreng dengan genjrengan gitar fals di tengah hari.
Yang lebih mengherankan, penghuni kosan tiga lantai itu bahkan tidak ada yang terganggu sedikitpun. Sepertinya memang sudah menyerah karena Taufan itu lebih tidak tahu diri dari yang terlihat.
"Selow, brotherku. Gausah marah-marah, nih minum dulu." Taufan dengan cengiran sejati itu menyambar sekaleng soda dingin yang dia baru beli di minimarket depan gang.
"Ogah! Udah ye, ni gitar lo gue sita. Daripada lo nyanyi-nyanyi mengganggu warga bangsa ini, mending lo kuliah sono!" Gopal menghardik, menolak kaleng soda dingin yang tampak menggugah di tengah siang hari terik ini.
Padahal, jika dia tidak jadi korban fitnahan dari sontoloyo satu ini, dia mungkin akan menerimanya dengan senang hati.
"Gue hari ini libur. Makanya gue nyanyi-nyanyi buat ngisi waktu luang. Udahlah, brother daripada lo marah-marah layaknya penagih hutang, mending kita nyanyi bareng." Taufan menyambar lagi gitar di tangan gopal, bersiap memetik sebuah nada. "Yuk, request. Mau lagu apa? Lagunya Dewa 19? Via Vallen? Ayu TingTing? Goyang Dumang? Ayo goyang dumang, biar hati senang-"
"DIEM. DIEM SEBELUM GUE KEPANG USUS LO." Gopal nyolot sembari membuat mulut Taufan mingkem sepenuhnya.
"Hehehe, ya maap."
Gopal menghela napasnya kemudian. Baiklah, sedikit banyak dia mengerti perasaan Halilintar ketika harus mengurus para begundal-begundal itu. Gopal hanya harus menghadapi satu bocah bengal yang selalu bertingkah seenaknya, dan terkadang ada masa-masa dimana dia ingin meracuni diri sendiri dengan biskuit kiamat milik Yaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Ke Rumah (Boboiboy Elemental)
Fanfiction"Kata siapa beban jadi anak laki-laki cuma kerja dan cari uang? Lo juga harus tau kalo jadi anak sulung laki-laki dan menghidupi enam orang pemberontak adalah kiamat." Menjadi anak sulung yang dipaksa harus tegar dan dewasa, Halilintar sudah lebih d...