Chapter 11: Mati Listrik

717 106 24
                                    

Normalnya, di jam tiga pagi penghuni rumah akan tidur terlelap, masuk ke alam mimpi layaknya Ais yang tidak pernah terbangun sampai jam tidur overloadnya itu terpenuhi. Namun, Solar yang sudah menghabiskan waktu tidurnya terlelap secara tidak sengaja pasca bertengkar dengan Halilintar—mau tidak mau tidak bisa melanjutkan tidurnya di jam empat pagi. Kalau kata orang sih rotasi jam tidurnya jadi bergeser karena terlalu banyak tidur di luar jam sebenarnya.

Solar tidak pusing. Sebab di dalam kamarnya yang terang itu dia tiba-tiba merasa lapar. Belum lagi suhu pendingin ruang di dalam kamarnya terasa dua kali lipat lebih dingin dari biasanya. Apa diluar hujan ya? Solar berpikir demikian, tapi tidak berniat menyibak tirai kamarnya untuk melihat ke balkon luar sebab suara air yang jatuh secara konstan diluar itu cukup menjadi bukti. Dia terlalu malas. Belum lagi suasana hatinya juga gak bagus-bagus amat. Kalau masih ingat perihal Halilintar sebelumnya, Solar jadi kesal lagi. Kakak sulung yang selalu memperlakukannya seolah Solar tidak bisa apa-apa jika dilepas sendirian.

Memangnya dia anak kecil?

Solar mengusak rambutnya, memangku jemarinya itu sembari duduk di pinggir kasurnya. Dia melihat ke arah detik jam yang terus bergerak di atas nakas. Dan mendadak, perut Solar bergemuruh. Anak laki-laki itu lantas terkesiap sendiri. Oh iya, dia belum turun makan malam karena malas berhadapan dengan Halilintar di ruang makan.

Tapi mau turun sekarang pun memangnya ada makanan? Solar yakin sekali semua lauk sudah raib ditelan oleh Blaze dan Duri. Tapi dia betulan laper banget?

Solar selama beberapa detik mengalami gejolak batin. Tapi karena perutnya tidak berhenti berteriak-teriak dan menggonggong bahwa dia kelaparan, mau tidak mau tangannya segera menyambar kacamata di atas nakas dan bangkit dari posisinya untuk keluar kamar.

Bodo amat, yang penting cari dulu, kalau gak ada ya ngaduk indomie aja lah!

Turun ke arah tangga, Solar bisa menangkap posisi ruang tengah yang hanya disisipi cahaya temaram dari lampu di samping TV. Langkah kakinya hanya mengetuk pelan, tapi karena sangat sepi dan kemungkinan hampir semua kakaknya terlelap, suara langkah kaki Solar jadi yang paling jelas di telinganya. Solar sebetulnya tidak suka gelap, tapi dia masih bisa mengatasi ketakutan itu jika matanya menangkap cahaya. Untungnya, Gempa tidak pernah membiarkan lampu di dalam rumah mati total saat hari gelap.

Melewati ruang tengah, Solar melangkah untuk mendekati bilik ruang makan yang menjadi satu dengan dapur. Ruangan itu hanya diberi satu sekat tembok pendek, sehingga sebetulnya setelah melewati sekat, meja makan dan dapur itu bisa terlihat jelas. Begitu pula ketika mata abu-abu milik Solar mendapati sosok kakak laki-lakinya yang sedang merunduk di dekat pintu kulkas yang terbuka. Rambut kecoklatan yang berantakan, kaos putih polos yang agak kebesaran dan tangan yang kini sedang membuka segel tutup air mineral.

"Kak Gem?"

Alih-alih mendapati laki-laki bermata kecoklatan terang, Solar malah berwajah masam saat mendapati bahwa netra merah yang kini menjatuhkan atensi pada suaranya. Halilintar tidak bersuara begitu dia telah menenggak airnya, menutup pintu kulkas setelah menutup segel botol air mineralnya. Laki-laki itu maju beberapa langkah, memperhatikan sosok Solar yang berwajah kecut. Sudah pasti Solar masih kesal dengannya. Tapi, Halilintar lebih suka bersikap masa bodoh dalam menghadapi sikap kekanak-kanakkan adiknya.

"Tumben bangun jam segini?" Halilintar bertanya saat dia meletakkan botol di atas meja. Satu tangannya menahan bobot tubuhnya.

Sementara Solar melengos. "Kepo." Ujarnya sembari melangkah untuk memutari meja makan—enggan melewati Halilintar karena terlampau malas melihat wajah kakak sulungnya itu.

"Nyari apa?"

"Bacot, pergi sana." Solar menggerutu dengan punggung membelakangi Halilintar.

Sumpah, Solar heran kenapa Halilintar tidak pergi saja dari dapur daripada berlagak berpose keren di dekat meja sampai menatap punggung Solar yang sedang membuka lemari atas untuk mencari makanan. Memangnya dia tidak tahu bahwa Solar masih terlampau jengkel hanya untuk melihat wajah Halilintar yang masa bodoh seperti tembok emas lima lapis itu? Sementara itu, Halilintar malah sama sekali tidak mengindahkan Solar yang mengusirnya dan terang-terangan memasang wajah jengkel. Padahal biasanya Halilintar sudah lebih dulu garang jika Blaze yang bertingkah seperti itu. Tapi memang perilaku adik-adiknya itu perlu penanganan yang berbeda-beda sih. Contohnya saja Blaze, jika digituin bisa-bisa kelakuannya lebih memusingkan di kemudian hari. Sementara Solar bukan tipe orang yang bisa dilawan dengan metode Halilintar dalam mendidik Blaze.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rumah Ke Rumah (Boboiboy Elemental)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang