Chapter 4 : Para Pencari Kebebasan

1.9K 228 20
                                    

"Blaze."

"Hadir, Bang."

Meneguk ludah, laki-laki dengan seragam urakan itu berdiri tegap di depan Halilintar. Tubuhnya luar biasa tegang, padahal dia tidak menghadapi kakak sulungnya itu seorang diri seperti terakhir kali, melainkan bersama dengan adanya dua saudaranya yang lain menemani di sampingnya. Ais yang merapatkan bibir, diam-diam berdoa dia juga tidak akan terlalu dimarahi, sementara Duri menciut di sisi kembaran Blaze.

Koridor sekolah sudah sepi, lebih tepatnya tidak ada yang lewat di depan ruang bimbingan konseling pada saat jam pelajaran berlangsung. Lantas bagaimana situasinya bisa jadi semenegangkan ini?

Baiklah, ini bermula saat Halilintar sedang sibuk-sibuknya mengerjakan tugas kajian makalah yang harus ia kumpulkan hari ini di kelas sorenya. Saat fokus-fokusnya menahan ngantuk dan memaki bahwa dia akan tidur setelah menyelesaikan tugas yang membuatnya kelimpungan selama dua minggu penuh untuk mencari lahan penelitian agar tugas kajiannya terpenuhi-ponselnya berdering seolah memberitahunya bahwa dia baru saja mendapatkan alarm bahaya.

Hal paling memalukan dari kabar yang diterimanya itu adalah bahwa salah satu adik bungsunya menghilang di jam pelajaran. Dan saat dia melangkah ke sekolah ini untuk memenuhi panggilan dari guru BK yang berlangganan mengawal kasus siswa bermasalah-yang kebanyakan pelakunya adalah Blaze-Halilintar sama sekali tidak diberikan jeda untuk bernapas saat melihat ada tiga pembuat masalah yang sedang menyeruput es teh dan menusuk cilor.

TIGA PEMBUAT MASALAH.

Kepalanya sudah sangat sakit saat melihat Blaze yang tidak lain dan tidak bukan selalu jadi bintang utama dalam segala kenakalan remaja. Dan saat melihat Ais dan Duri, rasanya kepalanya mendidih sampai mengeluarkan kepulan asap sungguhan.

Dan, dia sedang berpikir untuk memukuli salah satunya setelah mendengar guru konseling sekolah ini mengomel dan tampak pasrah saat lagi-lagi yang terseret dalam kasus ini selalu saja Blaze. Jujur saja, Halilintar hampir tidak punya muka setiap kali dia datang ke sekolah ini. Kalo bisa diibaratkan, muka Halilintar ini seprti sudah tercoreng kolor Taufan yang sering dia gantung sembarangan di jemuran lantai dua.

Harga dirinya lenyap seketika.

Memangnya ada siswa yang dengan bangga keluar masuk BK tanpa tahu malu seperti adiknya itu? Halilintar sudah jengah dan dia hampir menyerah.

"Pulang sekolah, lo temuin gue."

Blaze melirik Ais dan Duri yang saling buang muka.

"Gue doang...?" Tanyanya.

"Masih nanya?" Halilintar menyipitkan matanya.

Keringat dingin meluncur di punggung Blaze diam-diam. Matilah betulan dia ini.

Dia betulan lupa, kalau saat ini tahta tertinggi penguasa dan pengendali rumah adalah Halilintar. Dan dia juga lupa, kalau Halilintar itu saat marah benar-benar bertempramen buruk. Kalau Blaze bisa mengamuk dan secara verbal menyakiti benda dan orang di sekitarnya, Halilintar ini lebih buruk dalam pengendalian emosi.

Mungkin memang benar mereka ini bersaudara.. kan?

Tapi walau bukan itu intinya, Blaze sudah panas dingin.

Dia jadi teringat lagi kejadian tempo silam saat dia lari tunggang-langgang dari Halilintar saat ketahuan menyicipi batangan rokok. Iya sih, dia tidak sampai kena sambit dengan gesper yang dibawa oleh kakak sulungnya itu, tapi adrenalin lari dari monster yang mau makan hidup-hidup itu rasanya sudah seperti bertahan hidup di tengah wabah zombie yang bisa berpikir.

"... maaf, bang."

"Ya emang. Penyesalan selalu di akhir. Kalau di awal namanya?"

"Pembukaan!" Duri menjawab tanpa tahu situasi. Lantas saja Blaze memelototinya dan Ais menyenggol adik bungsu sulungnya itu.

Rumah Ke Rumah (Boboiboy Elemental)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang