7 - Candy

55 9 25
                                    

"Jadi, sejak kapan di kasir disediain permen kayak gini?"

Mai mengalihkan perhatiannya dari layar monitor mesin kasir di depannya kepada Jia yang mengambil satu permen yang diletakkan di dalam mangkok kecil berwarna putih.

"Oh itu..." Mai menoleh kepada Malik yang sedang membersihkan meja yang beberapa menit lalu ditinggalkan oleh seorang konsumen. "Sejak pagi ini sih. Kak Malik yang bawa."

Jia langsung menoleh kepada Malik sambil menyuapkan permen ke dalam mulutnya. Lelaki itu tampak meletakkan sebuah sedotan air mineral gelas di antara mulutnya. "Gue juga penasaran deh... sejak kemarin Bang Malik selalu ngisep sedotan kayak gitu. Buat apaan sih?"

"Dia lagi ngurangin ngerokok, karena permintaan ayang." Harsa menyahut tiba-tiba, seketika membuat ekspresi di wajah Jia menjadi kaki.

"Cih, bulol banget." ujar Jia.

Harsa tertawa, terlalu senang mendengar komentar yang diberikan oleh Jia. "Cemburu bilang aja, Ji." katanya menggoda Jia.

"Cih, siapa yang jealous? Bukan gue banget." gumam Jia memandang Malik sebal. Meski memang benar Jia menyukai Malik secara terang-terangan, tapi bukan berarti dia mengharapkan sesuatu dari Malik.

"Tapi enggak apa. Bang Malik kan kalau nyebat kayak cogil." tambah Jia lagi.

Harsa mengangguk setuju. Ia juga seperti Malik dan Elang, merokok di tiap waktu yang tidak ditentukan. Tapi bedanya, Harsa dan Elang tidak segila Malik yang sedikit-sedikit merokok. Untungnya, Malik tidak sampai menghabiskan satu bungkus rokok dalam sehari.

"Tumben hari ini ke sini, mau ngapain?" tanya Harsa kepada Jia. Sebab, Jia memang lebih sering bekerja di luar atau dari kampusnya daripada harus datang ke kafe.

"Mau bahas project baru sama Kak Noe dan Kak Indi." Jia tiba-tiba menghela napas. "Gue sedih tahu kalau terus-terusan ketemu Kak Indi... hati gue patah banget."

"Lebay lo," komentar Harsa.

"Ih, gue serius, Bang!" balas Jia tak mau kalah. "Gue kan join Bean emang karena naksir owner-nya. Kalau owner-nya taken, gue males lah??? Gue resign aja."

"Jangan dong, Ji..." Malik tiba-tiba datang ikut bergabung. "Di mana lagi gue harus nyari Social Media Specialist sekeren dan se-kreatif lo?"

Mendengar pujian Malik, Jia tiba-tiba malu dan memasang wajah sombong. "Yah... kalau lo ngomong gitu, gue terpaksa lama deh, di sini."

Malik tergelak, mengacak gemas rambut panjang Jia dan berlalu pergi.

"Nah, itu! Ituuuuu! Itu Bang Harsa, yang bikin gue baper beneran!"

"Jadi, selama ini lo enggak baper beneran?"

"Niatnya sih enggak. Tapi, Bang Malik tuh... duh... kalau Kak Indi sia-siain lagi, mending buat gue aja dah." ucap Jia membuat Harsa dan juga Mai tertawa.

Bean and Bindings itu memiliki dua tangga yang terhubung langsung ke lantai dua, Aurora Books. Tangga pertama ada di luar tepat di depan kafe dan tangga kedua ada di dalam kafe. Rasanya, Indira sedikit menyesal karena harus menggunakan tangga yang terhubung ke dalam kafe. Sebab ia harus mendengarkan Harsa dan Jia membicarakannya perihal Malik.

Tidak, Indira tidak marah. Mau disembunyikan bagaimana pun juga, hubungannya dan Malik akan tetap menjadi bahan obrolan karyawan Bean dan juga Aurora. Apalagi dengan kisah pertemuan mereka yang bisa dibilang cukup unik. Belum lagi, Indira menjadi salah satu alasan mengapa Malik selalu mengambil project pekerjaan dalam setahun ini. Jadi, Indira tidak heran kalau namanya sudah dikenal dengan teman-teman Malik.

Dissonance: Coffee, Books & SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang