10 - Friend?

61 9 23
                                    

Malik menghembuskan napas lega luar biasa ketika ia keluar dari ruangan, untuk mengetahui hasil sidangnya dua jam yang lalu. Seulas senyuman menyungging di bibirnya saat ia berjalan keluar dari ruangan untuk menghampiri teman-temannya yang masih menunggu.

"AKHIRNYAAA!" Harsa berseru ketika melihat Malik membuka pintu. Malik menyengir dan menerima pelukan Harsa yang kencang. "Haaaah, gue ikut lega ngelihat lo jalan keluar dari ruangan itu!"

"Maliiiik! Congrats!" Ivona kemudian menghampiri, memberikan pelukan kepada Malik. "Gue bangga sama lo!"

"Congrats bro." Elang ikut menambahkan, sambil ikut memeluk Malik. Malik sendiri hanya cengengesan saja. Ia terlalu bahagia dan terharu bisa menyelesaikan kuliahnya yang sempat tertunda. Saking bahagianya, Malik sampai tidak bisa berkata apa pun selain memberikan cengiran kepada teman-temannya.

"Eh, ada hadiah nih buat lo." bisik Elang sebelum melepas pelukannya.

Malik terperangah saat ia melihat Indira datang membawa satu buket bunga dan tersenyum kepada Malik. Meski senyuman Indira itu sedikit kaku, tapi Indira berusaha memberikan senyuman terbaiknya.

Indira juga buru-buru minta izin kepada Noeline untuk mampir ke kampus Malik karena ia baru tahu kalau lelaki itu sidang hari ini. Untung saja, Indira masih sempat membeli bunga.

"Malik... Congrats udah selesai kuliahnya." ucap Indira sambil menyerahkan satu buket bunga.

Malik menerimanya dengan balas tersenyum. "Thanks, Ndi, thanks juga udah mau dateng ke sini. Enggak sibuk kan?"

"Enggak kok. Oh iya, Kak Noe titip ucapan, 'Congrats, Lik. Ntar gue traktir makan.' Katanya. Yang lain juga bilang selamat."

Malik terkekeh mendengar pesan-pesan dari mereka di Aurora dan juga Bean. Terlebih, karena kehadiran Indira siang ini. Apakah ini artinya Indira sudah berbaikan dengan hatinya sendiri?

Indira melirik ke arah Harsa, Elang, dan Ivona yang seolah memberikan mereka ruang untuk berbicara bersama. Indira rasa ini juga saat yang tepat untuk meminta maaf. Indira juga tahu bahwa tadi malam, Sena mengajak Malik untuk berbicara di kafe dekat kosannya. Sena yang memberi tahu. Sena mengatakan apa yang ia ceritakan kepada Malik tanpa mengurangi pun menambah cerita lain sedikit pun.

Mendengar Sena menasehatinya, Indira sedikit demi sedikit bisa menerima diri bahwa ia salah dan tidak sepantasnya marah kepada Malik hanya karena ia cemburu. Sena juga berkata, nasib setiap orang berbeda-beda dan tidak selalu sama. Indira merasa ia kurang memahami diri dan kurang belajar untuk ikhlas dan menerima, bahwa ayah sudah meninggalkan mereka.

"Lik... gue minta maaf ya?" ujar Indira dengan hati-hati. Maniknya menolak untuk menatap bola mata Malik yang semakin memikat. "Gue salah. Gue enggak seharusnya marah sama lo. Maafin gue, Lik."

Malik hanya menatap Indira untuk beberapa saat. Malik cukup terkejut karena Indira duluan lah yang membahas perihal itu kepadanya.

"Gue enggak marah, Ndi. It's okay." balas Malik akhirnya dengan senyuman.

"Lo enggak benci sama gue kan, Lik?"

Malik tertawa kecil. "Ya enggak lah, Indira. Kenapa gue harus marah? Gue enggak tahu Sena udah cerita apa belum kalau tadi malam gue ngopi sama dia. Tapi Sena udah cerita sedikit, dan gue bisa memahami posisi lo. Dan seterusnya... gue pengin lo selalu terbuka sama gue, Indi."

Indira mengerjap, terperangah mendengar ucapan Malik.

"Kalau lo lagi marah, lagi kesal, lagi apa pun itu... gue pengin jadi orang yang pertama tahu. Gue pengin jadi orang yang bisa membuat lo tersenyum lagi, bahagia lagi, dan lupa sama apa pun masalah yang lo hadapi. Gue pengin jadi orang yang pertama berusaha membuat lo happy lagi. Gue pengin jadi orang yang... selalu pertama buat lo. Can I?"

Dissonance: Coffee, Books & SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang