Indira merasa sudah terlalu lama bersembunyi dari kenyataan pahit yang menimpanya satu tahun yang lalu. Ketika saat itu Sena datang menjemputnya, Indira hanya dapat menangis dan memeluk Sena. Saat Indira menangis, bukan hanya karena kenyataan bahwa ayah memutuskan untuk pergi namun juga karena Indira harus lari dan bersembunyi lagi dari rasa takutnya ditinggalkan.
Ketika jemari Indira bergerak di laptop beberapa bulan lalu dan menemukan lowongan pekerjaan di Aurora Books, dengan penuh keberanian, Indira mencoba untuk kembali ke Jakarta. Mencoba untuk keluar dari tempat persembunyiannya dan mampu menerima bahwa keadaan bisa saja selalu berubah.
"Kamu beneran enggak apa kalau harus ke Jakarta lagi, Mbak?" tanya ibu ketika Indira sedang menyantap sarapan di meja makan. "Kalau kamu... ketemu ayah enggak sengaja, gimana?"
Mendengar ibu menyebut ayah, membuat Indira meletakkan sendoknya di piring. Terdiam tak bersuara dan hanya memandangi piring yang masih menyisakan banyak nasi.
"Ibu sama Sena... pertanyaannya sama." Indira berusaha tersenyum, meski setiap mendengar nama ayah, hatinya selalu teriris kesakitan.
Ibu hanya memandangi punggung Indira yang semakin kecil, semenjak Indira memutuskan untuk menemani ibu di Malang. Perceraian ayah dan ibu, masih menyisakan banyak luka di hati Indira. Tidak seperti Sena yang biasa saja ditinggal ayah, Indira selalu menyayangkan kenapa keluarganya tidak utuh lagi.
Padahal Sena bilang, tidak ada keluarga yang sempurna. Meski ayah tidak lagi di rumah, ayah akan selalu sayang kepada anak-anaknya. Namun Indira tidak mampu menerima, bahwa ayah yang selalu dekat dan bersepeda dengannya tiap pagi itu, tidak lagi menyimpan ruang untuk ibu di hatinya.
"Harusnya Mbak yang tanya sama Ibu, sih." kata Indira lagi setelah selesai meneguk air dan menatap ibu. "Kalau Mbak ke Jakarta, Ibu emang enggak apa-apa di sini sendirian?"
Ibu menyunggingkan senyum sambil melanjutkan mencuci piring. "Enggak lah. Ibu selalu seneng di kampung sendiri. Kan, di sini ramai. Ada bude dan mbahmu. Enggak bakalan Ibu kesepian, Mbak."
"Makanya Mbak yakin mau balik ke Jakarta. Soalnya Mbak tahu, Ibu enggak akan kesepian di sini."
Setelah selesai mencuci piring di wastafel, Ibu datang menghampiri Indira dan duduk di depannya. "Kamu lebih seneng kalau di Jakarta, Mbak... dan jangan takut untuk menerima keadaan."
Indira sudah berani menerima keadaan. Begitu dihubungi oleh Direktur Aurora Books, Indira gugup setengah mati. Apa lagi ketika Noeline—Direktur Aurora Books itu mengatakan bahwa Indira diterima menjadi Marketing Executive-nya Aurora. Ternyata, pengalaman satu tahunnya menjadi Marketing Strategist di Malang cukup memberinya banyak pengalaman. Meski produk yang akan dijual sangat berbeda, namun Indira tidak mempermasalahkan itu.
Seolah semesta sedang mendukung niat baik Indira untuk menerima keadaan, Indira dibuat kaget ketika ia tanpa sengaja menemukan Instagram Bean and Bindings, kafe yang ternyata satu gedung dengan kantor Aurora Books, tempat kerjanya yang baru. Yang membuat Indira lebih kaget saat itu tentunya adalah ketika ia tahu, bahwa pemilik kafe itu adalah Malik.
Satu tahun, begitu banyak yang terjadi. Perkenalannya dengan Malik kala itu, ternyata telah berhasil Malik wujudkan. Impiannya Malik, ingin memiliki kedai kopi telah terwujud.
"Kak Indi, ada yang kurang dimengerti?"
Indira tersentak dari lamunannya ketika Jia kembali mengulangi pertanyaan yang sama.
"Kenapa, Kak? Butuh kopi?" tanya Jia lagi.
Indira segera menggeleng, merasa tidak profesional karena tidak fokus di hari pertamanya bekerja. Indira tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan Malik yang berada di satu ruangan dengannya, sambil menjaga kasir dan melayani pelanggan kafe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dissonance: Coffee, Books & Serendipity
Ficção GeralMalik, si Palugada, bukan sebutan asing lagi bagi Denzel Malik Pramastya. Apa yang lo mau, gue ada. Butuh Ketua BEM? Malik bisa. Butuh jasa graphic design? Malik juga bisa. Butuh orang buat ngecek laptop lo? Malik juga bisa. Butuh fotografer buat me...