4 - Thinking of You

74 12 26
                                    

Bekerja di Aurora mungkin adalah ide buruk yang Indira pilih. Sebab bekerja dekat dengan Malik ternyata bukanlah pilihan yang tepat.

Indira tidak bisa berhenti memikirkan ucapan Malik tadi pagi—yang tidak sempat ia balas karena Noeline yang baru saja tiba mengajaknya untuk segera naik ke kantor untuk membahas acara kerja sama dengan perusahaan lain yang akan diadakan dalam waktu dekat.

Indira terpaksa mengikuti Noeline, meski beberapa kali menyempatkan diri untuk melirik Malik. Lelaki itu hanya tersenyum dan berkata, "Nanti aja."

Indira mengacak rambutnya frustasi. "Ini bukan saatnya lo mikirin Malik kali, Ndi..."

"Ndi!"

Indira menengok setelah dipanggil oleh Vyna yang berjalan menghampirinya. "Butuh kafein enggak? Ke bawah yuk."

Oh, tentu saja. Indira dengan semangat langsung beranjak dari duduknya hingga membuat Vyna heran.

"Butuh kafein banget, Ndi?" Vyna tertawa.

"Enggak sih, Kak... tapi butuh minuman dingin aja." balas Indira sambil tersenyum. "Lagian, gue enggak bisa minum kopi, Kak."

"Hah? Serius?" respons Vyna sembari berjalan beriringan bersama Indira untuk ke lantai bawah.

Indira terkekeh, respons yang diberikan oleh Vyna itu bukanlah respons baru yang Indira dapat ketika ia berkata, bahwa ia tidak bisa meminum kopi. Sebab bagi sebagian orang yang mengenal Indira, mereka berpikir bahwa Indira adalah tipe orang yang setidaknya minum kopi sampai dua kali sehari.

Kenyataannya, Indira tidak bisa minum kopi sama sekali. Indira pernah mencoba minum kopi saat ia pergi bersama ayah. Saat itu sepulang bersepeda di sekitar komplek perumahan, ayah mengajak Indira minum kopi di kedai kopi terdekat.

Ayah memesan satu cokelat hangat untuk Indira dan satu kopi hitam panas untuknya. Karena penasaran, Indira mencoba mencicipi kopi milik ayah. Hasilnya, ayah harus membawa Indira pulang karena gadis itu merasa perutnya sakit. Ternyata, Indira tidak pernah cocok minum kopi.

"Ndi, mau pesan apa?"

Indira tersentak ketika Vyna menyenggol lengan kirinya karena gadis itu tidak menjawab pertanyaan Mai, yang berdiri di depan kasir.

Indira mengerjap dan tersenyum sungkan kepada Mai. "Matcha Latte aja,"

"Nih, gue aja yang bayar." sahut Vyna yang langsung menyerahkan kartunya kepada Mai.

"Eh, enggak usah, Kak!" sergah Indira tak enak.

"It's okay. My treat."

Indira tidak punya pilihan karena Vyna memaksa. Setelah selesai memesan, Vyna mengajak Indira untuk duduk di kursi yang kosong. Siang itu kafe kelihatan lebih sepi. Barista yang sedang berjaga pun belum pernah Indira lihat sebelumnya. Indira tidak melihat Harsa, Elang, apalagi Malik.

"Nyariin siapa sih, Ndi?" tanya Vyna.

"Barista-barista yang kemarin kok enggak ada ya, Kak?" balas Indira, masih memperhatikan ke arah bar.

"Oh itu. Tiap Kamis, cowok-cowok itu selalu ke kampus. Katanya Harsa, tiap kamis jadwalnya dia sama Elang revisian sama dospem. Kalau Malik, mungkin mau ngurusin sidang skripsinya yang dijadwalin kamis depan kalau enggak salah."

"Malik baru mau sidang?"

Vyna mengiyakan. "Saking sibuknya kerja serabutan, dia baru nemu waktu yang pas buat sidang."

Indira mengangguk paham. Ternyata selama satu tahun tidak bertemu Malik, lelaki itu sibuk dengan kehidupannya untuk bisa mencapai impiannya. Di balik kesibukannya bekerja, Malik ternyata tetap serius menyelesaikan edukasinya.

Dissonance: Coffee, Books & SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang