16 - Suatu Fakta

38 4 12
                                    

"Sena, aku pacaran sama Malik."

Sena tersenyum lebar begitu membaca pesan Whatsapp yang Indira kirimkan beberapa menit lalu. Sena baru bisa membuka pesan itu setelah rapat yang berlangsung selama dua jam itu selesai. Sena tidak capek sih—melainkan lebih banyak tertawa karena memang seperti itulah atasan dan timnya. Salah satu alasan mengapa Sena betah bekerja di sana sejak ia menjadi anak magang satu tahun yang lalu.

Untungnya, setelah Sena lulus dari kuliah, atasannya langsung menawarkan untuk memberikan Sena posisi menjadi karyawan full time—yang tentu saja dengan semangat Sena iyakan. Tidak mungkin Sena menolak tawaran meggiurkan seperti itu, bukan?

Kembali tentang Indira, Sena langsung saja meletakkan ponsel ke telinganya, untuk menghubungi Indira. Tanpa perlu menunggu lama, Indira menjawab teleponnya itu.

"Kok bisa?" tanya Sena begitu saja bahkan sebelum Indira sempat mengucapkan salam.

"Ih, salam dulu kali, Sen."

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Gitu dong, sama mbaknya."

Senyuman Sena semakin lebar hingga berubah menjadi kekehan kecil. Sena senang melihat Indira sudah jauh lebih ceria sejak datang kembali ke Jakarta, terutama sejak bertemu dengan Malik.

Ekspetasi yang Ayah berikan sebagai seorang kepala keluarga, dengan mudahnya runtuh ketika Sena mencium wangi parfum seorang Wanita dari kemeja yang Ayah kenakan sepulang kerja. Awalnya, Sena mencoba berpikir positif.

Bisa saja itu parfum Mpok Lara, si penjual jamu yang selalu menggunakan parfum berlebihan—karena Ayah suka meminum jamunya setiap pagi sebelum berangkat kerja.

Atau bisa saja wangi parfum sekretarisnya di kantor yang memang sehari-harinya membuat jadwal Ayah. Sena mencoba berpikiran positif, tapi nyatanya, perasaan yakin negatif Sena jauh lebih besar.

"Iya, benar. Ayah selingkuh." Ayah tidak membela diri, melainkan mengaku dengan pasrah atas tuduhan Sena—yang tentunya ia harap tidak benar.

Bahkan saat itu, Sena tidak mampu berkata apa pun lagi, selain pergi menutup pintu rumah.

"Terus... soal yang kamu bilang waktu itu,"

"Apa?" tanya Sena, tidak ingat dengan apa yang ia sarankan kepada Indira.

"Ketemu Ayah, Sen. Aku mau ketemu Ayah."

Sena terperangah, sedikit terkejut dengan pilihan yang Indira putuskan. Sebab Sena tahu, jika diberikan pilihan, Indira pasti adalah orang yang sangat menolak ingin bertemu Ayah, terlepas sedekat apa dirinya dan Ayah.

Keputusan Indira itu membuat Sena bertanya-tanya, apakah Malik benar-benar membawa pengaruh yang kuat ke dalam hidup Indira? Apakah ini karena Malik—atau memang murni Indira yang ingin berubah dan berniat memaafkan keadaan?

"Sen? Kok diam?"

"Eh, enggak, Mbak... kaget aja." Sena tersenyum, meski Indira jelas tidak dapat melihat hal itu. "Kenapa Mbak tiba-tiba mau ketemu Ayah?"

Indira lama terdiam di tempatnya dan Sena membiarkan ia mengambil sebanyak mungkin waktu untuk mempersiapkan jawabannya.

"Life must go on, Sena."

Benar. Life must go on, batin Sena. Senyumannya semakin lebar mendengar bagaimana kakaknya seolah kembali mendapatkan kepercayaan diri yang hilang. Tentu saja, Baik Sena atau pun Malik, akan sangat mendukung keputusannya itu.

***

Di mata Indira hingga sekarang, Ayah tetap lah Ayah—meski ia memberikan banyak rasa sakit kepadanya, Ibu dan Sena.

Dissonance: Coffee, Books & SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang