14 - Ayah, apa kabar?

46 6 15
                                    

Untuk pertama kali selama bekerja di Aurora, Indira berharap hari Senin tidak pernah datang. Sebab nyatanya, Indira tidak siap menghadapi Noeline yang mungkin saja masih marah kepadanya.

Indira menghela napas berat. Ada banyak persoalan yang bertamu di dalam pikirannya, yang menuntut untuk harus diselesaikan satu per satu. Salah satunya tentang saran Sena untuk bertemu ayah, agar Indira bisa melepaskan beban-beban yang ayah tinggalkan untuknya. Namun Indira tidak tahu, apakah itu solusi yang tepat agar Indira bisa menjalani hari-harinya dengan damai.

"Ndi,"

Indira segera menghela napas lagi kala Vyna adalah orang pertama yang menyapanya di kantor. Indira pikir, ia akan bertemu dengan Noeline sepagi ini dan jelas itu bukan hal yang Indira mau.

"Gimana perasaan lo? Udah baikan?"

Indira tersenyum tipis, sambil mengeluarkan laptopnya dari dalam tas dan meletakkan benda itu di atas meja. "Lumayan, Kak. Maaf, gue udah bikin keributan."

"Emang ngagetin sih, Ndi." balas Vyna, bersandar pada kursinya, mengingat bagaimana kejadian itu membuat Vyna pun yang lain kebingungan. "Tapi enggak apa. Kan acaranya juga lancar-lancar aja. Lo lihat nih email gue, ramai banget."

Indira tidak tahu apakah ia harus ikut merasakan kelegaan mendengar ucapan Vyna. Sebab Indira benar-benar sangat merasa bersalah atas tindakannya yang tidak profesional itu. Indira bahkan berpikir untuk mengundurkan diri saja karena terlalu tidak enak hati kepada mereka semua.

"Beneran loh, Ndiii." Vyna sekali lagi mencoba menenangkan Indira. Ia berjalan menghampiri Indira, menepuk pelan pundak perempuan itu dan menatapnya lekat. "Hari ini lo dan Noe pasti baikan, gue yakin itu."

"Kak Noe enggak bakalan marah banget sama gue kan, Kak? Atau marah berlarut-larut?"

Vyna terkekeh. "Enggak, Ndi. Percaya deh sama gue. Noe emang sempat kecewa berat sama lo. Tapi ngelihat hasilnya positif kayak gini, Noe enggak bakalan marah lagi. Kemarin Noe juga lagi bad day. Gue yakin dia marah ke lo karena butuh pelampiasan juga. Jadi, jangan dipikirin ya?"

Mendengar ucapan Vyna, Indira akhirnya bernapas lega. Setidaknya ucapan Vyna itu berhasil membuat Indira untuk siap masuk ke dalam ruangan Noeline jika atasannya itu sudah datang nanti.

"Jangan khawatir berlebihan. Okay?"

Indira mengangguk dan duduk di kursinya. Semoga saja apa yang Vyna sampaikan memang benar. Sebab Indira juga tidak mau hubungannya dengan rekan kerja jadi memburuk karena tindakannya yang tidak profesional itu. Indira juga tidak mau cepat-cepat meninggalkan Aurora. Malah sebisa mungkin, Indira ingin bertahan bekerja di Aurora serta menjalin hubungan yang serius dengan Malik.

Namun sepertinya, untuk mewujudkan itu semua, Indira memang harus bertemu dengan ayah. Maka dengan segala keberanian, Indira mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan pesan kepada ayah. Indira berharap, ayah belum mengganti nomor atau memblokir nomornya.

Indira: ayah, ini indi. Ayah apa kabar?

***

Malik sedang mengelap gelas-gelas yang tadi malam telah dicuci bersih setelah kafe selesai beroperasi. Pagi ini, Malik sudah ditemani oleh Ivona yang merasa bosan di rumah dan langsung datang ke kafe untuk membantu operasional. Sedangkan Harsa dan Elang sudah nongkrong di kampus untuk menunggu dosen pembimbing mereka.

Ivona memang salah satu teman—yang mungkin sudah Malik anggap sahabat, seperti Harsa dan Elang. Sebab meski Ivona sering datang membantu di kafe, ia selalu menolak untuk dibayar oleh Malik.

"Enggak usah, Lik. Gue punya uang sendiri kok. Simpan aja uangnya buat kebutuhan kafe lo." Begitu katanya ketika Malik mencoba memberikan Ivona gaji terakhir kalinya.

Dissonance: Coffee, Books & SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang