8 - Shouldn't Be

69 9 25
                                    

Kedekatan antara perempuan dan laki-laki itu sangat beragam. Kedekatan itu merujuk pada hubungan atau ikatan emosional. Seperti persahabatan, keluarga, romantis atau jenis hubungan lainnya.

Bagi Malik, hubungannya dan Chelsea memang pernah mencakup ikatan emosional yang romantis. Hanya saja, Chelsea lah yang tidak menginginkan hal itu menjadi sebuah hubungan yang lebih.

Mendengar pertanyaan Chelsea beberapa saat lalu, tentu membuat Malik bingung. Dari sekian banyak waktu yang mereka miliki, kenapa pertanyaan itu tiba-tiba terlontar lagi darinya setelah Indira muncul?

"Gue enggak paham maksud lo." balas Malik sambil membalikkan badan, membelakangi Chelsea karena ia tidak mau berlama-lama di pantry dengannya.

Chelsea tidak menjawab, ia menarik napasnya dalam. Chelsea sadar ia sedang bersikap kekanakan sekarang. Cemburu, marah, dan egois, semua hal itu berkumpul di dalam dirinya.

"Sorry. Lupain aja."

"Gue enggak dengar apa pun." kata Malik kemudian sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan Chelsea sendiri di pantry.

Chelsea meletakkan gelas di atas meja dan menghela napas kasar. "What's wrong with me?"

***

Hari-hari Indira bekerja di Aurora sangat menyenangkan. Menurutnya, orang-orang di Aurora sangat menyambutnya dengan baik, begitu juga dengan orang-orang yang ada di Bean. Waktu berjalan begitu cepat, memasuki hari ketiga puluh Indira bekerja di Aurora.

Setelah genap satu bulan bekerja di Aurora sebagai Marketing Executive, nyatanya, hubungan Indira dan Malik masih belum beranjak posisi dari 'orang yang sedang melakukan pendekatan'. Sebenarnya, Indira tidak berharap Malik akan mengajaknya berpacaran saat ini juga. Sebab, Indira pun masih memiliki keraguan di dalam dirinya.

Tapi kalau boleh jujur, Indira tidak menyangka kalau Malik juga masih betah dengan hubungan mereka yang sekarang. Kenapa ya? Setiap bersama Malik, Indira kerap memikirkan pertanyaan itu di dalam benaknya.

Kenapa?

"Kak Indi!"

Indira mengerjap saat Chiko mengeraskan suara untuk memanggilnya. Indira lupa, sudah tiga puluh menit ia berdiskusi dengan Chiko. Lelaki itu tampak sedikit kesal, bisa dilihat dari wajahnya yang berubah masam.

"Eh... sorry, sorry, Chiko!" kata Indira panik. "Maaf banget! Bisa-bisanya gue ngelamun gini."

Chiko menggeleng maklum. "Mau ngopi dulu enggak?"

"Lo tahu kan gue enggak bisa ngopi."

"Oh iya," Chiko tertawa. "Ya udah. Gue yang ngopi, elo minum Matcha aja."

Indira tampak berpikir sejenak. Sejak pagi, ia belum sempat berbicara dengan Malik karena lelaki itu belum terlihat di kafe. "Ayo deh." ujar Indira sambil menggeser kursinya.

"Eh, mau pada ke mana?" tanya Vyna yang baru saja kembali dari rapatnya bersama Noeline dan Nizar.

"Ke bawah, Kak. Ikut?"

"Nitip aja boleh enggak sih? Mager banget nih."

"Boleh, yang biasa ya?" tanya Indira.

"Thanks, Ndi!"

Indira dan Chiko kemudian berjalan menuju kafe menggunakan tangga di dalam. Saat Indira melewati ruangan khusus staf yang sering digunakan staf kafe untuk beristirahat, Indira dan Chiko tersentak begitu mendengar suara kencang dari dalamnya.

"Gue enggak nyangka lo enggak profesional kayak gitu ya, Lik!"

"Bang Malik?" Chiko berbisik.

"Chiko, lo mesan duluan aja enggak apa?"

Dissonance: Coffee, Books & SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang