9 - Mendengar dan Didengar

50 11 26
                                    

Sedikit demi sedikit, rasanya Malik mulai memahami apa yang terjadi dengan Indira. Mungkin, keluarga adalah permasalahan utamanya.

Meski Malik tidak mengejar Indira malam itu untuk pulang sendirian, lelaki itu diam-diam mengikutinya sampai Indira berhasil mendapatkan ojek online untuk pulang ke kosannya. Malik mengikuti mobil yang Indira tumpangi dari belakang hingga mobil itu mengantarkan Indira berhenti tepat di depan rumah indekos bertingkat tiga.

Malik menghela napas begitu ia tiba di unit apartemennya dan merebahkan diri di atas kasur sambil menatap langit-langit kamar, memikirkan tentang Indira. Tentu ada banyak pertanyaan dibenaknya yang mungkin saja tidak akan dijawab oleh Indira jika ia bertanya. Namun, Malik memilih untuk tetap menanyakan itu esok hari. Malik tidak ingin menunda lagi. Sebab, ia tidak mau kehilangan Indira untuk yang kedua kalinya.

***

Ketika ayah memutuskan meninggalkan rumah, Sena adalah orang yang paling marah. Sena menolak alasan yang ibu berikan kepadanya, bahwa ayah meninggalkan rumah karena memang sudah tidak cocok lagi dengan ibu. Tapi bagaimana dengan surat yang tidak sengaja Sena baca saat mengambilkan ponsel ayah di kamar? Bagaimana dengan wangi parfum dari pakaian ayah setiap ia pulang ke rumah?

Sena juga marah dan kecewa kepada ayah. Namun, rasa kekecewaan Indira terhadap ayah jauh lebih besar. Sebab ayah selalu memberikan afirmasi-afirmasi tentang keluarga yang indah dan damai kepada Indira. Ayah yang selalu menasehati Indira untuk menjadi kakak yang baik dengan bijaksana. Indira menolak untuk percaya... bahwa ayah yang seperti itu, benar-benar pergi meninggalkannya, Sena, dan juga ibu.

"Mbak, ini Sena." Sena mengetuk pintu kamar Indira. Malam itu, pukul sebelas malam, Indira menelponnya, meminta Sena untuk segera datang ke kosan.

Indira membuka pintu dan menatap wajah Sena sendu. Sena tidak perlu bertanya, Sena sudah tahu apa yang terjadi kepada kakaknya. Sena masuk ke dalam kamar Indira dan memeluk kakaknya itu. Memastikan bahwa Sena akan selalu ada untuk Indira. Bahwa Indira tidak harus sendirian melewati rasa kesepiannya.

"Kenapa, Mbak?" tanya Sena.

Indira memeluk Sena erat, menggenggam bagian belakang kaos berwarna hitam yang Sena kenakan.

"Aku salah, Sen, sama Malik."

Sena melepaskan pelukannya dan menatap Indira dengan seksama. Mempelajari raut wajah kakak satu-satunya itu.

"Aku salah... karena aku iri sama dia."

"Iri?"

"Malik punya keluarga yang utuh," Indira berkata sambil mulai menangis. "Malik punya keluarga yang rame, nyenengin dan selalu mendengarkan. Aku iri, karena Malik punya itu semua."

Sena terdiam, membiarkan Indira menceritakan apa yang dirasakannya.

"Aku enggak bisa berhenti untuk marah..." ucap Indira. "Harusnya aku enggak boleh begitu kan, Sena? Tapi aku enggak bisa berhenti... aku udah jahat sama Malik."

Sena tidak mengatakan apa pun, selain kembali merengkuh Indira ke dalam dekapannya. Indira memang kakaknya, kakaknya yang tegar dalam beberapa hal. Namun jika itu sudah menyangkut keluarga, ayah... Sena tahu, Indira tidak bisa melewati hal itu sendirian.

"It's okay, Mbak... You'll be fine. Tenang aja."

***

Minggu ini jelas bukan minggu yang baik untuk Malik. Chelsea dan sekarang Indira, belum lagi sidangnya esok hari. Malik benar-benar memusingkan dirinya sendiri.

Malik ingin segera berbicara dengan Indira, tapi Malik tidak tahu bagaimana caranya. Sejak bertemu tanpa sengaja dengan Indira pagi tadi, Indira menghindar darinya. Malik tidak mungkin nekat ke lantai dua untuk mengajak bicara Indira. Noeline jelas-jelas akan memarahinya karena mengganggu pekerjaan mereka.

Dissonance: Coffee, Books & SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang