15 - Alasan Untuk Bertahan

51 8 12
                                    

"Kenapa Ayah pilih selada buat jadi tanaman hidroponik? Kenapa bukan bayam atau cabai?"

"Karena Ayah suka selada, Mbak."

Indira menatap Ayah sangsi, tidak percaya jika Ayah memutuskan untuk membuat selada menjadi tanaman hidroponik di rumah yang kemudian Ayah jual ke warung-warung atau pun supermarket.

Melihat tampang Indira yang tidak percaya dan seolah mengejek jawabannya itu, Ayah terkekeh. Melepaskan sarung tangan yang beberapa detik lalu Ayah gunakan untuk memberikan pupuk.

"Benar loh, Mbak. Selain karena selada itu tumbuhnya cepat dan perawatannya mudah, Ayah suka banget sama selada kan?"

Indira tersenyum sambil ikut melepaskan sarung tangannya. Setiap akhir pekan, Indira selalu ikut membantu Ayah mengurusi tanaman hidroponiknya. "Iya deh, percaya. Apalagi kalau dijadiin lalapan sama Ibu kan?"

"Apalagi kalau Ibu bikin ayam penyet kayak hari ini, pasti Ayah makannya rakus." ujar Sena yang mendadak muncul entah dari mana.

"Oh, ya?! Ibu masak ayam penyet?!! Kalau gitu, kita harus cepat-cepat masuk ke dalam, Mbak!" kata Ayah sembari bergegas, mencuci tangannya di kran yang ada di dekat pintu.

Sena dan Indira tertawa, begitu pula dengan Ayah yang merangkul keduanya berjalan keluar meninggalkan tanaman hidroponiknya.

Kini, tanaman hidroponik tersebut tetap Ibu lanjutkan meski sudah pindah ke Malang. Tempatnya Ayah jual sebelum ia memutuskan untuk berpisah dengan Ibu. Namun, hasil penjualannya Ayah berikan semuanya untuk Ibu, agar Ibu bisa memulai usaha sendiri setelah berpisah dengan Ayah.

Indira tidak berterima kasih, begitu pula dengan Sena. Keputusan mendadak Ayah itu tidak menyenangkan mereka sama sekali. Meski begitu, Ibu tetap tersenyum dan berusaha ikhlas, serta menjalankan usahanya dengan ceria, berusaha tidak mengingat Ayah di setiap prosesnya.

Indira sebenarnya merasa bersalah dan tidak adil kepada Ibu. Sebab Indira bersikap seolah Indira lah yang paling dikhianati oleh Ayah. Namun kenyataannya, Ibu jauh lebih menderita dan kecewa karena Ayah tiba-tiba meninggalkan mereka. Sebab Ibu berpikir, selama ini Ayah hanya mencintai Ibu. Hanya ada Ibu di hati Ayah. Namun, Ibu salah. Indira dan Sena pun salah. Sebab mereka tahu, ternyata Ayah tidak sesempurna itu sebagai kepala rumah tangga.

"Jadi, mau ngomong apa?" Suara Malik tersebut mengalihkan segala pikiran Indira tentang Ayah. Alih-alih menjawab pertanyaan Malik, Indira justru membiarkan dirinya mengamati wajah Malik dengan senyuman yang kerap selalu membuat jantungnya berdetak tidak karuan.

Bagi Indira, senyum Malik selalu membawa ketenangan di dalam dirinya. Setiap Malik bercerita tentang dirinya, tentang bisnisnya, atau teman-temannya, Indira selalu mendengarkan dengan seksama. Namun keceriaannya Malik justru kadang membuatnya kesal karena Malik terlihat tidak memiliki beban apa pun di dalam hidupnya. Dan Indira sadar, tidak sepantasnya ia berpikiran demikian.

"Maaf ya, cuma bisa ngomong di sini. Soalnya ntar Harsa ngamuk kalau gue ninggalin kafe padahal lagi busy hours." ujar Malik lagi.

Indira tersenyum. Justru Indira merasa bersalah karena harus mengganggu Malik di saat yang sedang sibuk seperti ini. Namun Indira pikir, ia harus mengutarakan segala pikirannya agar hubungannya dan Malik dapat bertahan dan berjalan dengan baik.

"It's okay. Malah kayaknya gue ganggu ya?"

"Ah, enggak kok. Emang gue lagi istirahat juga." balas Malik. "Jadi, mau ngomong apa sih, Ndi? Gue jadi deg-degan. Lo mau ninggalin gue lagi?"

Indira terkekeh. Ternyata, Malik setakut itu jika Indira pergi meninggalkannya lagi. "Enggak... justru gue mau ngomong, demi hubungan kita kedepannya."

Mendengar ucapan Indira, Malik terdiam. Bohong jika ia tidak cemas dengan apa yang akan Indira sampaikan. Sebab gadis itu tidak dapat ditebak jalan pikirannya.

Dissonance: Coffee, Books & SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang