Deanno POV
"Masuk dan turuti semua kata dokter itu," titah pria paruh baya yang kupanggil dengan sebutan ayah.
Aku mengikuti instruksinya, mengekori jalan dokter muda yang baru saja selesai berbicara dengan ayah dan ibu. Meski pakaianku lusuh dan lecek, mereka tak mempedulikannya. Memang siapa aku mengharap perhatian? Mau badanku terbujur kaku sekalipun, aku harus bisa menahannya.
Di dalam ruangan dominan putih ini, aroma yang sangat kubenci semerbak memenuhi segala penjuru. Dokter tadi menyuruhku tidur di atas brankar dan mulai melakukan serentetan pemeriksaan.
Tidak seharusnya aku di sini. Mereka baru menjemputku tadi setelah dua jam pergi membawa kakakku ke rumah sakit. Mungkin aku dapat tugas tambahan di sini.
Yudan, ayahku itu masuk setelah sebelumnya dipanggil salah satu perawat. Samar aku masih dapat mendengar mereka berbicara meski tubuhku masih nyaman berbaring di tempat yang empuk.
"Sangat cocok tuan. Walau berbeda ibu, mereka berdua mewarisi darahmu, itu bisa jadi salah satu alasannya."
"Kalau begitu segera lakukan."
"Baik, tetapi ada beberapa prosedur seperti persetujuan pihak kedua supaya transplantasi dapat dilakukan. Kami akan buat—"
"Tidak perlu, dia sudah setuju. Bagaimanapun dia adalah saudaranya."
"Maaf tidak bisa, kami harus melakukan dokumentasi wawancara serta tanda tangan dan sidik jarinya."
Transplantasi ya? Jadi itu sebabnya aku dibawa kemari.
"Hahh... Lakukan semau kalian, tapi jangan sampai nyawa putraku terancam hanya karena prosedur bodoh ini."
Ayah pergi dari ruangan. Aku bangkit dibantu perawat yang tadi memanggil ayah. Mereka menatapku aneh, membuatku tidak suka berlama-lama di sini.
Aku tau, selanjutnya hanya perlu lakukan semuanya seperti seharusnya. Aku mengerti, entah apa yang akan mereka ambil dariku kali ini, tapi itu bukan masalah.
Selanjutnya aku menjadi tawanan rumah sakit. Beberapa perlakuan bak orang sakit yang teramat kubenci. Tak jarang para perawat datang membawa surat untuk kutandatangani. Kemarin aku juga sudah wawancara sembari direkam yang sepertinya untuk kepentingan dokumentasi.
Saat ini, ditengah aku yang menikmati santapan dari rumah sakit, ibu datang dengan wajah malas yang selalu kulihat. Wanita itu berdiri di depan pintu, bahkan enggan untuk sekedar mendekat ke arahku.
"Apa kau marah?"
Eh? Marah? Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?
Aku menggeleng kecil menjawab pertanyaan ibu. Tidak mungkin aku marah apalagi setelah tau kakak dalam bahaya. Jika aku tidak melakukannya, tidak ada yang bisa menyelamatkannya 'kan?
"Tidak ada alasan bagimu untuk marah. Bian-ku begini juga gara-gara kau. Sadar dirilah bodoh, hidupmu memang hanya untuknya."
"I-iya bu."
Ibu keluar dengan langkah tegasnya yang tampak berkelas. Sejauh ingatanku, ibu adalah wanita paling sempurna yang kutahu. Dia tak memiliki celah. Namun aku juga dibuat sedih dengan fakta bahwa ia bukan ibu kandungku.
Ibu tak pernah memperlihatkan senyum untukku. Dia selalu risih bila kudekati. Tatapannya tajam menusuk, dan perintahnya adalah mutlak bagiku. Aku tidak akan suka membuatnya marah, kalau tidak aku harus membersihkan rumah dengan segala rasa sakit di sekujur tubuh.
"Nak Dean, malam nanti puasa ya? Besok pagi kita harus operasi. Persiapkan dirimu."
"Baik, Sus."
Deanno POV End
***
Deanno Binahuda, remaja empat belas tahun yang menjadi mainan semata. Pria yang dulu menyayanginya seketika berubah saat kejadian tak terduga 9 tahun silam. Sejak saat itu kehidupan Deanno berbalik seutuhnya. Bahkan tak ada lagi kenangan manis yang tertinggal.
Sementara Bian Binahuda, cowok enam belas tahun yang selalu menjadi alasan penderitaan Dean. Cowok sakit-sakitan meski perlakuan untuknya selalu melebihi raja. Baik Yudan maupun Vina selaku orang tuanya sudah bingung dengan segala penyakit yang Bian derita. Mereka sampai kelimpungan mencari pinjaman untuk biaya pengobatan.
Tidak bisa dibilang kaya, namun keluarga itu sebenarnya sangat berkecukupan. Semua harta yang di dapat seolah terdedikasi hanya untuk Bian seorang. Sejatinya, Yudan adalah tipe pria yang sangat menyayangi keluarga. Tidak heran kalau ia bersedia kerja keras hanya untuk membuat mereka hidup bahagia.
Dua minggu berlalu sejak Dean dan Bian operasi, akhirnya mereka diperbolehkan pulang. Bian yang baru mendapat ginjal baru dari sang adik, disuruh tetap di kamar sampai kondisinya benar-benar pulih. Di lain sisi, Dean yang notabenenya baru kehilangan salah satu organ tubuh justru harus kembali menjadi pelayan di rumah itu. Menurut Vina, Dean sudah cukup beristirahat selama di rumah sakit.
Banyak pekerjaan menantinya. Segala cucian menumpuk untuk segera dibersihkan. Baju kotor sudah menggunung, ditambah mesin cuci dilarang untuk dipakai sebab mereka harus hemat listrik akibat dari biaya pengobatan Bian yang tidaklah murah. Tuhan, apa Dean sanggup melakukannya?
Tuntas mencuci piring, Dean berniat untuk memasak makan malam sebelum ia mencuci baju secara manual. Satu tugas saja memerlukan satu jam baginya untuk diselesaikan. Dean tidak yakin ia bisa tepat waktu.
Sial beribu sial. Ketika membuka kulkas, semua bahan makanan sudah tidak segar karena terlalu lama dibiarkan. Dean mematung di depan sayuran yang sudah layu, menatapnya dengan pandangan kosong ketakutan.
"Aku tidak bilang kau boleh diam seperti itu." Vina tiba di dapur. Wanita itu melirik sekilas sesuatu yang Dean pandangi. Seketika matanya melotot marah mendapati sayuran layu dari kulkas.
"Kau bodoh atau apa hah?! Menyimpan sayuran saja tidak becus! Apa aku harus mendisiplinkanmu lagi?!!"
Dean tersentak mendengar amarah Vina yang menggebu-gebu. Rasanya wanita itu meluapkan segala emosi dan Dean lah yang menjadi target pelampiasan.
Dengan begitu kasarnya, wanita itu menarik rambut Dean yang sudah panjang sebahu. Jangan heran, Dean tidak sempat memotongnya karena pekerjaan rumah yang tiada habis. Belum lagi kondisinya yang belum keramas selama beberapa minggu membuat tak sedikit rambut rontok di tangan Vina.
Dean hanya mampu meringis menahan sakit. Kepalanya sudah tertarik kebelakang, walau begitu ia tak mampu berbuat apa-apa.
"Memang tidak bisa diandalkan! Begini saja tidak bisa! Tidak heran karena kau adalah anak jal*ng sialan itu. Heh!" Vina menghempaskan kepala Dean yang hampir membuat anak laki-laki itu celaka karena terbentur ujung pantry. Selanjutnya Vina keluar dapur dengan kaki yang dihentakan.
"Beli sayur yang segar! Aku tidak mau putraku sakit karena kebodohanmu."
Baiklah, hampir pukul 7 malam, Dean harus bergegas sebelum toko sayur di dekat rumah mereka tutup. Lupakan rasa sakit itu, sebelum bertambah karena kebodohannya.
Tapi, kenapa hatinya mulai ikut terasa sakit?
***
Bersambung
Janji ga unpub🤲🏼
23 Januari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
DEANNO [Hiatus]
Teen FictionIa tak dibiarkan melihat cahaya harapan barang sedetik pun. Ia hidup dalam kegelapan yang seakan tak berujung. Bukan dia yang memilih takdir, tapi takdir yang memilihnya. [BROTHERHOOD! NOT BL]