Dean terbangun, tubuhnya lemas dengan wajah yang memerah lucu. Ketika menatap sekeliling, ia hanya seorang diri di kamar ini. Inginnya anak itu langsung bangkit dan mencari orang-orang, tapi rasa malas justru mengambil alih seketika.
"Hai, bagaimana tidurnya?" Tanpa diduga, Baskara masuk dan langsung menyapa Dean yang masih celingukan.
Tidak heran sebenarnya, karena sejak tadi Dean tidur selalu dipantau ketiga orang dewasa itu melalui CCTV. Mereka mengawasi tidur si bocah yang berkemungkinan besar akan mimpi buruk. Namun, ternyata Dean mampu tidur nyenyak nan pulas tanpa terganggu hingga tiga jam lamanya. Sebenarnya waktu itu terbilang cukup berlebihan, tapi tak ada satupun dari mereka bertiga yang tega membangunkan lelapnya Dean.
"Apa kau lapar? Ayo, aku punya sesuatu."
Dean duduk di kasur dengan mata yang masih sayu. Tanpa sadar, Baskara tertawa melihatnya. Benar kata Runa, memang usia anak itu 14 tahun, tapi tingkah lakunya masih terlalu bocah dan menggemaskan.
"Ayo."
Lihatlah, mulutnya berucap demikian tapi matanya masih memandang kemana-mana seolah belum cukup mencerna keadaan. Lagi-lagi Baskara gemas, berujung dengan dirinya yang mengacak-acak wajah mungil Dean hingga rambut anak itu makin berantakan. Padahal, Dean tidurnya kalem, kalau saja Baskara tidak mengacau, wajahnya akan tetap manis dengan rambut yang hanya sedikit berantakan.
"Ayoo!" Setelah berseru heboh seperti itu, Baskara langsung mengambil tubuh yang jauh lebih kecil itu dan membawanya seperti seekor koala.
Tentu Dean terkejut bukan main, matanya saja sampai melotot. Nyawanya yang tadi masih melayang-layang, seketika masuk kembali ke raga. Takut jatuh, anak itu reflek memeluk leher Baskara hingga wajahnya tertanam di ceruk pria itu.
"Abang?" Dean memberanikan diri bertanya meski suaranya sangat pelan. Jika bukan karena posisi mulut anak itu berada dekat dengan telinga Baskara, sudah dipastikan Baskara tidak akan dengar ucapannya. Apa lagi Baskara agak budek dibandingkan dengan kedua rekannya.
Dan satu hal lagi, rasanya hati Baskara menghangat mendengar panggilan dari yang lebih kecil. Ia senang bukan kepalang, dan ia juga tak boleh lupa untuk memamerkannya pada Devan dan Runa nanti.
"Iya, sayang?"
"Dean bisa jalan sendiri."
Tanpa peduli Baskara tetap melanjutkan langkahnya sembari terkikik kecil hingga mereka kini berada di ruangan dengan sofa raksasa yang sudah sepaket dengan sepasang sejoli tengah bertengkar ringan. Hanya perkara roti susu, keduanya sampai saling lempar bantal hingga akhirnya kegiatan itu terhenti kala Baskara datang membawa buntalan di gendongannya.
"Kalian, jangan berisik! Adikku lapar dan ingin makan." Baskara mendudukkan Dean di salah satu sofa, dan ia mengambil posisi tepat di sampingnya.
Dean melihat sekeliling, terkejut dengan banyak sekali makanan yang sudah berjejer rapi di meja depan mereka meski ini bukanlah ruang makan. Ada telur, salad, berbagai macam buah, sayuran setengah matang, roti-rotian, soup, bahkan nasi. Dean hanya bingung, apakah tidak apa-apa makan di ruangan seperti ini? Setahunya kalau makan harus di ruang makan.
"Mau makan apa, Dean?"
Mendengar pertanyaan Devan, anak itu justru menggeleng kecil. Tapi, tatapannya juga tak teralihkan dari meja yang penuh dengan makanan.
"Dean mau kerja, kapan kerja?"
"Astaga.. bagaimana bisa kerja kalau lapar? Harus makan siang dulu, baru nanti kerja."
Sebenarnya Dean agak kesal. Dari tadi mereka selalu mengatakan nanti-nanti, tapi sampai detik ini pun ia belum mengerjakan apa pun. Apa bos tidak akan marah? Bagaimana kalau ia terlambat dan justru melakukan kesalahan? Memikirkan itu, mana bisa ia makan dengan tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEANNO [Hiatus]
Teen FictionIa tak dibiarkan melihat cahaya harapan barang sedetik pun. Ia hidup dalam kegelapan yang seakan tak berujung. Bukan dia yang memilih takdir, tapi takdir yang memilihnya. [BROTHERHOOD! NOT BL]