"Sakit?" Runa bertanya penuh khawatir. Tapi di lain sisi, ia tidak yakin apakah anak ini merasakan hal yang seharusnya.
Dean kini tengah diperban bagian tangannya. Runa memaksa supaya semua luka yang masih basah dan belum sembuh itu diberi perawatan. Awalnya ia ingin memeriksa kondisi fisik Dean secara keseluruhan lebih dulu, tapi begitu melihat luka bakar yang mengerikan, ia berubah pikiran dan langsung mengambil obat-obatan yang seharusnya.
Dean sendiri menggeleng kecil menanggapi pertanyaan wanita yang sudah membuatnya terpana beberapa saat terakhir.
"Baiklah, kalau begitu sudah selesai. Ayo baring, kakak mau periksa yang lain lagi, boleh?"
"Kapan kerjanya?"
Baskara tertawa kecil. Lagi-lagi anak itu mengkhawatirkan pekerjaan ghaib yang mereka tawarkan. Sementara Devan dan Runa hanya mampu tersenyum kecut. Dean terlalu memikirkan kerja dan kerja. Apa anak itu pernah menikmati hidupnya?
Devan mengusap kepala bocah yang masih menatap mereka kebingungan. Wajah polosnya bisa menghipnotis siapa saja, apalagi sebenarnya Dean merupakan anak yang manis jika dirawat dengan benar. Sungguh sial nasibnya, besar di keluarga bodoh macam itu.
"Ini juga termasuk pekerjaan. Kau harus diperiksa dulu, kalau sehat baru boleh bekerja."
Dean lagi-lagi hanya mengangguk dan akhirnya pasrah tiduran di atas brankar. Ingat, Dean tidak suka rumah sakit, apalagi diperlakukan selayaknya orang sakit. Ibu akan marah jika ia sampai tidak menjaga kesehatannya. Dan lagi, sebuah perasaan aneh juga menghantuinya setiap kali ia mencium bau alkohol dan obat-obatan.
"Okey, buka mulutnya."
Selama menjalani serentetan pemeriksaan, tangan Dean terus menggenggam Devan yang berada di sisinya. Kenapa bisa seperti itu? Yah karena Dean mulai bergetar ketakutan ketika bajunya dilucuti oleh Runa. Dan ketika Devan menghampiri lalu menggenggam tangan kecil anak itu, barulah ia bisa sedikit tenang hingga berlanjut sampai sesi pemeriksaannya selesai.
Sesekali juga Runa tertawa getir karena Dean selalu menjauh saat ingin ia sentuh. Tubuh kurus anak itu, sangat sensitif terhadap sentuhan. Matanya tak bisa menyembunyikan ketakutan. Mungkin reflek akibat trauma?
"Sudah selesai! Dean harus istirahat siang sebelum bekerja." Runa tersenyum lembut menatap bocah yang kini bangun dan mulai memakai kembali pakaiannya dibantu oleh Devan. Baskara dilarang menyentuh Dean mengingat betapa sensitifnya anak itu. Sedangkan Devan sendiri tadi pagi sudah bantu memandikannya, jadi Runa menyuruh pria itu saja yang membantu Dean.
"Dean tidak ngantuk, bisa bekerja dari sekarang."
Dean beranjak turun dari brankar, Devan awalnya ingin melarang, tapi melihat anak itu yang begitu kukuh, jadi ia biarkan saja.
"Tidak bisa, tidak boleh. Nanti gajimu dipotong kalau tidak menurut, bagaimana?"
Mendengar ancaman Runa, Dean jadi mematung. Kalau gajinya dipotong, ibu akan kecewa 'kan? Tidak, Dean tidak mau itu terjadi. Baiklah, kalau begitu ia lakukan saja sesuai perintah meski matanya masih segar.
Runa menggenggam tangan anak itu menuju ruangan lain di sana. Ternyata Dean dibawa ke kamar yang dibayangkan saja pasti sangat nyaman. Kamar itu bebas dari bau alkohol, justru sangat wangi dan menenangkan. Lampunya juga redup, sangat pas untuk tidur. Tidak seperti gudang sempit tempat Dean biasa tidur yang gelap serta dipenuhi nyamuk ketika malam. Apalagi ia hanya menyelimuti dirinya dengan sebuah sprei yang sudah bolong-bolong, tidak heran ia jika memandang kamar ini seperti sebuah istana kerajaan.
Masih dengan menggenggam tangan anak itu, Runa membawanya tiduran di kasur. Dean agak terkejut merasakan betapa empuknya kasur yang ia naiki. Belum lagi AC yang membuat sejuk, dengan kasur empuk yang hangat, sangat pas untuk tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEANNO [Hiatus]
Teen FictionIa tak dibiarkan melihat cahaya harapan barang sedetik pun. Ia hidup dalam kegelapan yang seakan tak berujung. Bukan dia yang memilih takdir, tapi takdir yang memilihnya. [BROTHERHOOD! NOT BL]