Rintik gerimis menghiasi bumi dini hari. Dean mengambil jaket yang pernah diberi Runa, berlari ke bangunan utama untuk segera membersihkan rumah seperti biasa. Hari libur yang mereka berikan, Dean berencana menghabiskan lebih banyak waktu dengan bibi.
Namun siapa sangka, langkahnya tiba-tiba terhenti saat mendapati ayah dan pak Gio yang sedang sibuk di bawah pohon mangga dekat pintu belakang rumah.
Dean tidak mengerti, sedang apa kedua pria paruh baya itu di bawah guyuran gerimis hujan? Ia ingin menghampiri, tapi teringat akan kondisi bibi semalam membuatnya mengurungkan niat dan bergegas melanjutkan langkah menuju bangunan utama.
Ketika baru beberapa detik ia berbalik badan hendak kembali berlari, suara sang ayah lebih dulu menginterupsi. "Dean! Ke sini sebentar," panggil pria itu yang sudah tampak kotor oleh tanah becek.
"Kenapa, ayah?"
Mau tak mau, Dean tetap mengikuti instruksi Yudan dan lekas mendekati pohon mangga itu. Dean dapat melihat gundukan tanah yang masih baru, juga alat gali seperti cangkul dan sekop di dekat pak Gio yang tampak sangat kelelahan. Wajah pria itu juga sangat pucat, lesu, dan seperti ketakutan di mata Dean.
"Bibimu sudah mati, tidak usah dicari. Mulai sekarang tugasmu hanya bersihkan rumah dan turuti semua perintah ibumu, mengerti?"
Dean tertegun, kata 'mati' menjadi satu hal yang membuatnya membeku. Apalagi melihat tatapan Yudan yang terlalu datar, seolah kematian bibi bukanlah sesuatu yang besar. Dinginnya hujan mulai menusuk ke tulang, tapi Dean tetap diam dalam bisu yang seolah abadi.
Entah apa yang dipikirkannya, Dean bahkan tidak tau bagaimana perasaannya. Tapi ia mengerti, mulai sekarang tak akan ada lagi yang mendengar isi hatinya. Mulai sekarang tak ada lagi tempat nyamannya di rumah. Dean paham, bibi sudah meninggalkannya. Gadis itu tidak akan pernah membantu Dean lagi bila kesulitan. Tak akan ada sosok teman untuk berbagi makanan. Ya, semuanya karena bibi sudah mati. Gadis itu pergi, mungkin menemui bahagianya yang sempat hilang.
"Biar Gio yang bersihkan gudang itu, kamu lanjut kerjakan pekerjaanmu." Yudan pergi setelah mengucapkan kalimat yang Dean sendiri tidak terlalu dengar. Anak itu masih tetap di posisinya, menatap gundukan tanah baru yang panjangnya hanya sekitar satu meter.
"Nak, ayo, nanti kamu sakit. Hari ini harus kerja 'kan?"
Melihat Dean yang tetap diam, pak Gio lantas menghampiri 'tuan muda'-nya lalu memeluk tubuh kecil nan ringkih itu. Pria itu menangis, mendekap erat yang lebih muda sambil bergumam kata maaf beribu kali.
Tapi, untuk apa? Dean sama sekali tidak mengerti. Ia terdiam hanya karena terlalu terkejut 'kan? Jadi sebenarnya Dean tidak peduli. Ya, anak itu bahkan menepuk pelan punggung pak Gio yang masih sesenggukan, berharap sang pria dapat tenang serta merasa baikan.
"Sudah, kenapa bapak menangis?" tanya anak itu lemah.
"Maaf, nak. Maaf, ayo meneduh. Kamu harus kerja supaya tidak dimarahi nyonya, ayo bapak bantu."
"Tidak apa-apa, hari ini Dean libur jadi punya waktu banyak untuk bersih-bersih." Pak Gio sempat terdiam, tapi akhirnya pria itu menggandeng tangan kecil Dean, mereka pergi menuju bagian belakang rumah untuk segera meneduh dari rintik hujan yang semakin lebat.
Sejujurnya, Pak Gio lebih senang ketika Dean pergi bekerja. Ia sangat sadar bahwa wajah anak itu lebih cerah di malam hari ketika pulang bekerja, berbeda jauh dengan kondisinya yang sebelumnya hanya berkutat di bangunan rumah. Dean juga tampak lebih sehat selama bekerja. Meski bertentangan dengan logika, tapi pak Gio yakin jika Dean lebih bahagia dan merasa hidup saat anak itu pergi bekerja.
Padahal baru tiga tahun pak Gio mengabdi di keluarga itu, tapi ia seakan sudah sangat fasih dengan watak tiap anggota keluarga di sana. Ia juga sempat dibuat terkejut saat mengetahui fakta bahwa ternyata Dean merupakan anak kandung tuannya. Saat itu si pria merasa aneh, namun setelah menjalin sedikit pendekatan dengan Dean, ia yang tidak merasakan adanya kesalahan pada diri anak itu akhirnya memilih untuk mengabaikan sifat tidak wajar tuannya. Pak Gio berlaku sesuka hati terhadap Dean, toh kedua pasutri itu juga tidak mempermasalahkannya.
"Maaf, nak.. maafkan bapak."
***
Sesekali Dean mengintip gudang tempat bibi tinggal. Pak Gio di sana, merapikan sedikit barang dan berulang kali keluar masuk membuang sesuatu. Dean ingin membantu, tapi hatinya seolah enggan pergi mendekat.
Ada rasa kecewa yang hinggap di hati. Dean marah, tapi pada siapa? Dan kenapa?
"Dean!"
Remaja lelaki itu tersentak kala seorang wanita paruh baya datang lantas membentaknya. Ia menatap mata tajam yang penuh sekali dengan kesan tidak suka, hingga membuat Dean bertanya-tanya, kesalahan apa gerangan yang sudah ia perbuat.
"Keluar! Orang-orang itu menjemputmu bahkan di hari libur. Entah apa yang sudah kalian rencanakan, tcih."
Bingung, tapi Vina kembali bersuara, "jangan pernah bahas bibimu itu kepada mereka." Vina berbalik badan dan segera pergi dari area belakang. Wanita itu tampak marah, tapi di lain sisi Dean justru merasa lega.
Tak lama, malah Devan yang terlihat muncul, langsung menelisik sekitar seolah mencari sesuatu. Tapi, sesaat setelah pria itu tiba, ia lantas menutup hidung begitu bau tak sedap menerobos indra penciuman. Tentu saja, belum semua kotoran bibi di buang, dan pasti baunya masih ada di sana.
"Dek, bau apa ini?" tanya Devan bingung.
Dean kira pria itu tidak menyadari kehadirannya. Tapi tak apa lah, Dean juga sangat ingin pergi dari sini untuk sekarang.
"Kerja?"
"Hmm, ayo berangkat."
Dean membalas uluran tangan abangnya. Ia menyenderkan sapu ke dinding dan segera pergi meninggalkan pak Gio yang sedang muntah untuk keempat kalinya dalam dua puluh menit terakhir.
"Maaf ya, tapi ini benar-benar keadaan diluar dugaan, dan kami membutuhkan Dean dengan segera."
Baskara berujar sembari mengekori rekan dan adiknya yang masuk ke mobil. Yudan masih bisa menampilkan senyum palsu, tapi Vina benar-benar terlihat kesal setengah mati. Wanita itu bersumpah akan membuat Dean bekerja dua kali lebih keras dari biasanya ketika pulang nanti.
Mobil melaju meninggalkan pekarangan rumah. Dean yang duduk di samping Devan, kali ini hanya diam dengan tatapan kosongnya. Anak itu tidak lagi menonton pemandangan indah dari jendela mobil seperti biasa. Dan, tentu dua pria dewasa di sana sadar dengan perubahan aneh itu.
"Dean, ada apa? Kenapa diam saja?"
Baskara sadar, situasi Dean sedang tidak mendukung untuk dia bertingkah. Namun, tetap saja pertanyaan kaku yang bukan gayanya itu hanya dibalas gelengan kecil dari yang lebih muda.
"Tadi bau banget, ada bangkai?"
Kalau Devan boleh jujur, bau yang ia cium tadi bahkan lebih busuk dari sekedar bangkai. Ia tidak bisa bayangkan, apa sumber bau tak sedap yang begitu menyengat itu? Dan kenapa Dean terlihat santai di dekatnya? Bahkan pria yang juga ada di sana saja sampai dibuat muntah.
"Dean diapain ibu? Boleh cerita sama abang ga?"
Lagi-lagi hanya gelengan yang menyahut.
***
Bersambung
He lost, and ended up felt confused
19 Februari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
DEANNO [Hiatus]
Teen FictionIa tak dibiarkan melihat cahaya harapan barang sedetik pun. Ia hidup dalam kegelapan yang seakan tak berujung. Bukan dia yang memilih takdir, tapi takdir yang memilihnya. [BROTHERHOOD! NOT BL]