"Arghh!! Maaf ibu. Maaf! Maafkan Dean! Sakit, hentikan!"
Tanpa sadar Dean mulai berteriak di hadapan Vina yang tengah menempelkan pisau panas ke tangan cowok itu. Dengan kejam kembali ia panaskan pisau di atas api kompor, kemudian menempelkannya lagi kali ini lengan Dean hingga kaos tipis anak itu meleleh dan kena kulitnya.
"Ibu! Sakit! Hiks.." teriak Dean lagi sambil berusaha menjauh dari wanita itu. Namun apalah daya, kedua tangannya digenggam dengan kuat oleh Vina. Bahkan punggung Dean sudah menempel di dinding.
Di dekat mereka, Yudan dan Bian duduk bersama di meja makan menikmati santapan mereka. Vina sendiri belum menyentuh makanannya dan malah repot-repot menyiksa Dean yang melakukan kesalahan kecil. Ya, hanya sebuah kesalahan kecil yang membuat Dean harus merasakan panasnya baja karbon.
Tak sengaja cowok itu menaruh bubuk cabai pada soup Bian. Sebenarnya hanya sedikit, dan tidak terlalu mempengaruhi rasa. Namun, Bian yang baru operasi tentu harus diperhatikan makanannya. Hal itu memicu amarah Vina maupun Yudan. Bian juga sebenarnya marah, tapi ia tidak sanggup ikut mengamuk seperti ibunya.
"Tidak ada makan malam untukmu! Selesaikan cuci baju malam ini juga, aku mau besok sudah bisa dipakai. Dan, awas kau sampai melakukan kesalahan lagi."
Dean segera berlari ke belakang setelah Vina melepaskan cengkeramannya. Perih di perut ia tahan, setidaknya Dean harus lepas dari singa betina itu dulu.
Terisak kecil, Dean menyalakan keran air dengan tangan bergetar. Jujur saja tangannya yang tadi terkena panas, sudah berdarah dan melepuh. Sakit sekali, tapi ketika Dean coba bilas menggunakan air dingin, justru terasa perih.
"Hiks.. ugh, dimana baskom kecil itu?"
Dean menoleh ke sekeliling, berharap menemukan benda yang ia cari. Sungguh, Dean tak sanggup kalau harus mendapat hukuman lagi hanya karena ia terlambat mencuci baju.
Ketika menelisik dengan teliti, ternyata benda yang dicarinya berada tepat di depan sebuah pintu. Ah! Hampir saja Dean terlupa dengan bibi. Seorang gadis yang Vina pasung entah karena apa. Dean sendiri tak mengenalnya, hanya diperintah untuk menyuapi gadis yang ia sebut bibi itu setiap malam.
Bergegas Dean membuka pintu kayu yang berdecit di sana, lantas tampak seorang gadis dengan pakaian lusuh yang hidup dalam gudang bau bersama tikus dan serangga jorok lainnya. Dean duga, selama ia dirawat, pak Gio lah yang memberinya makan.
"Bi, aku selesaikan cuci baju dulu baru memberimu makan, ya? Ibu akan marah jika aku lambat."
Sekilas Dean bisa melihat gadis itu mengangguk lesu. Dean pikir si gadis mungkin terlalu lapar, maka dari itu sesegera mungkin anak laki-laki itu mengambil baskom dan mulai mencuci pakaian satu demi satu.
Perih melanda pada luka bakar yang baru diterimanya. Apalagi rasa lapar membuat anak itu menjadi lemas. Sejujurnya, lebih masuk akal bila Dean yang mendapat perhatian khusus. Namun, kedua binatang itu mana mungkin melakukannya.
Selagi mencuci baju dengan diiringi rintihan akibat perih, Dean teringat dengan sosok pria yang tak sengaja ia tabrak ketika membeli sayuran tadi. Saat itu Dean terburu-buru, dan karena rasa sakit di perutnya, ia sampai tak memperhatikan jalan. Ketika itulah ia menubruk punggung pria yang tampak masih sangat muda. Atau mungkin orang itu malah masih remaja seperti dirinya.
Yang jelas, cowok itu mengenakan setelan pakaian mahal. Wajahnya terlihat garang, membuat Dean seketika pasrah bila hidupnya harus berakhir di sana.
Sembari memungut kembali kantung plastik yang terjatuh, Dean terkesima sekaligus sungkan. Cowok itu, memiliki aura memikat yang membuat sepasang netra Dean tak bisa lepas darinya. Meski begitu, segera setelah tersadar Dean langsung mengucap beribu kata maaf dan menundukkan kembali pandangannya.
"Hey, tidak masalah. Kau boleh pergi."
Mendengar itu Dean segera berlalu. Syukurlah ia selamat, walau maut lain tengah menunggunya di rumah. Yang Dean tidak sadari, selepas kepergiannya kedua orang dewasa di tempat itu tak melepaskan pandangan hingga ia tak lagi terlihat.
Dean hanya teringat, sekaligus berkhayal seperti apakah kiranya sosok pria yang tak sengaja ia tabrak tadi? Dari semua orang yang pernah Dean temui di dunia ini, hanya pak Gio dan bibi yang bersikap ramah padanya. Interaksi mereka pun terbilang cukup jarang kecuali dengan bibi. Yah, bagaimanapun juga Dean lah yang setiap hari memberi bibi makan dari sisa makanan keluarga itu. Terkadang malah ia berbagi makanan dengan bibi karena sisa makanan yang terlalu sedikit.
Dua jam berlalu, Dean beres mencuci semua pakaian. Sekarang, yang menjadi PR adalah memeras semua pakaian itu supaya cepat kering. Mesin cuci tidak boleh digunakan, setrika juga memakai banyak listrik. Mau tidak mau, Dean harus memeras semuanya hingga titik terkering yang ia bisa.
Tapi jujur saja, tangannya terasa sangat sakit sekarang. Tapi kalau tidak dilakukan, entah amarah macam apa lagi yang akan ibunya lampiaskan.
Dean sebenarnya sedih. Bukan karena sikap Vina, melainkan karena ia belum bisa memuaskan wanita itu padahal Dean sudah melakukan yang terbaik. Ia marah pada dirinya sendiri sebab belum bisa sempurna seperti Bian, kakaknya. Mungkin bila ia bisa sedikit lebih baik nanti, ia juga akan disayangi seperti Bian.
Lupakan angan-angan itu. Dean berhasil menyelesaikan setengah baju dari setiap orang. Untuk saat ini, itu yang terbaik. Tangannya kaku, darahnya bahkan sampai kering. Tak sedikit baju yang terkena noda darah dan berujung harus Dean cuci lagi. Anak itu duduk sebentar. Setelah ini ia akan memberi makan bibi, lalu mencuci piring dan akhirnya tidur. Ah, memikirkannya saja sudah membuat Dean senang.
Dean kembali masuk ke dapur. Sudah pukul 12 malam, lampu juga sudah dimatikan. Pelan-pelan Dean membuka tudung saji. Untungnya masih tersisa sedikit tumis sawi dan nasi bekas Bias yang tak dihabiskannya. Sudah mengeras, namun hanya itu yang tersisa.
Di umurnya yang ke-sembilan, Dean dipaksa mahir memasak beberapa masakan rumah. Anak kecil yang seharusnya bermain bersama teman-temannya itu justru harus berulang kali mendapat luka akibat memasak. Tiap kali ia membuat kesalahan, maka tak segan-segan Vina akan bermain fisik.
Dean yang seharusnya masih mengenyam pendidikan, harus putus sekolah ketika ia menginjak tujuh tahun. Semua karena tragedi itu, tragedi yang menjadi mimpi buruk Dean. Tragedi yang bahkan Dean sendiri sebenarnya lupa. Ingatannya bermula sejak sembilan tahun lalu, jauh daripada itu Deanno sendiri bingung dengan kehidupannya.
"Bi, buka mulutmu." Dean mengangkat dagu gadis yang kotor nan jelek itu. Rambutnya menjadi gimbal, tangan dan kakinya terikat, pakaiannya hanyalah sehelai daster pendek yang sudah tersingkap supaya tidak terkena hajatnya.
Gadis itu menurut pada Dean. Membuka mulutnya sedikit, dan mengunyah makanan yang masuk meski keras dan susah ditelan.
"Daun, rendam. Umbi, jangan, kulkas...."
Dean terdiam mendengar bibi berucap terbata-bata. Ia tau, bibi sedang memberitaunya sesuatu. Jika Dean boleh menerka, bibi mengetahui perihal ia yang dimarahi karena sayuran layu. Sepertinya bibi memberitahunya cara menyimpan yang benar?
"...tomat, tutup, rapat. Wortel, rendam."
Dean menatap gadis itu berbinar. Sesungguhnya ia ingin tersenyum, tapi bibirnya seakan kaku. Dean sendiri lupa kapan terakhir kali ia tersenyum.
"Terima kasih, bibi. Akan kuingat semuanya!" seru anak itu senang meski wajahnya tak menampakkan ekspresi demikian.
"Kau tau? Di rumah sakit semuanya putih. Dean lupa tapi Dean gak suka di sana. Padahal kayaknya Dean gak pernah keluar rumah sama sekali, tapi di sana aneh. Di sana juga dingin, tapi ada ranjang yang empuk! Ada selimut juga, tapi Dean ditusuk-tusuk jadi di sana sakit."
Kembali Deanno menjalani rutinitas bagai di neraka. Anak itu bercerita antusias, dan si gadis tampak menikmatinya. Beginilah Dean, walau hidup bak di neraka, ada satu rutinitas yang sangat disukainya yaitu bercerita kepada bibi. Meski tempatnya tidak nyaman dan bau, Dean lebih merasa aman di sana. Itulah yang membuat Dean betah entah kenapa.
***
Bersambung
24 Januari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
DEANNO [Hiatus]
Teen FictionIa tak dibiarkan melihat cahaya harapan barang sedetik pun. Ia hidup dalam kegelapan yang seakan tak berujung. Bukan dia yang memilih takdir, tapi takdir yang memilihnya. [BROTHERHOOD! NOT BL]