13th 'Bingung

212 17 1
                                    

"Ayo makan? Dean marah abang jemput tiba-tiba?"

Sudah yang kesekian kalinya Baskara membujuk Dean untuk makan, tapi tetap anak itu tidak bergeming. Sampai pikiran nyeleneh seperti Dean yang merajuk terlintas di pikiran ketiga orang dewasa di sana. Mereka bingung, anak itu terlihat sangat murung dan tidak bersemangat seperti biasanya.

"Dean mau pulang? Gak enak badan?" Kali ini Runa yang angkat suara, walau pun sebenarnya sudah sejak tadi ia juga sesekali mencoba berbicara dengan anak itu.

Di lain sisi, Devan justru menyumpahi kedua rekannya yang melempar pertanyaan aneh-aneh. Hey! Dia sudah susah payah menjemput adiknya dari neraka karena tak rela membiarkan Dean seharian di rumah laknat itu, dan kedua rekannya malah seolah memberi lampu hijau untuk Dean supaya pulang.

Dean menggeleng kecil, tatapannya memancarkan sesuatu yang Runa tidak mengerti. Akhirnya, gadis itu bungkam, memilih merengkuh tubuh mungil sang adik untuk membuatnya nyaman.

Pun Devan dan Baskara hanya terdiam.

"Kalau mati, perginya kemana?"

Deg!

Apa itu? Dean mengucapkannya? Bagaimana mereka harus menjawab? Sedang pikiran masih mencerna pertanyaan.

Aneh, itu yang dipikirkan ketiganya sejak Dean tiba. Bagi Devan dan Baskara, keanehan itu bahkan sudah dirasakan sejak perjalanan. Dean yang semula mulai berani berinteraksi, kini kembali membisu seperti saat pertama kali ia menginjakkan kaki di sana.

Runa melepaskan pelukannya, menangkup pipi gembul sang adik dengan kedua tangannya sembari menatap dalam netra kelabu itu.

"Kenapa tanya begitu?"

Dean hanya diam. Lidahnya kelu, tapi rasanya kepalanya panas entah mengapa.

"Dean, kucing kamu mati?"

"Anjing, kamu punya anjing, dek? Anjingnya mati?"

Nyaris Devan ngamuk mengira Baskara mengatainya di depan Dean. Salah pria itu yang langsung nyerocos tepat setelah ia bertanya duluan. Tapi tetap saja kini keduanya terlibat tatapan sengit yang tak terelakkan.

"Nda, mau tidur, boleh?" Lagi, Dean mengucapkan sesuatu yang tidak terduga.

Tak pernah ada di sejarah mereka sang adik berani meminta sesuatu selain untuk keluarganya. Pertanyaan itu berbuntut pada kekhawatiran yang makin melanda ketiga orang dewasa di sana.

"Ada yang sakit, hm? Bilang sama kakak, sayang. Ayo kita naik, tidur di atas aja, ya?" Runa menuntun tubuh mungil nan ringkih itu menuju sebuah lift yang akan mengantar mereka naik ke lantai paling atas. Ia berencana memeriksa kondisi Dean, takutnya sesuatu yang buruk terjadi pada tubuhnya. Yah, padahal Dean belum sempat menjawab.

Baskara membawa serta makanan yang memang dipegangnya, kemudian segera menyusul Devan dan Runa yang memboyong sang adik naik. Bisa ditinggal lift dia kalau sampai kelamaan.

"Abang gendong sini," ujar Devan membujuk kala mereka di dalam lift.

Dean menggeleng, menolak halus tawaran abangnya. "Gak apa-apa, Dean mau tidur aja."

"Diem, adek gue mau istirahat."

Terbesit di pikiran Runa, apakah anak ini merajuk karena harus 'masuk kerja' di hari liburnya? Tapi mengapa pula ada kata 'mati' yang tadi terucap dari bibirnya? Runa tidak paham, seperti kepingan puzzle yang hilang rasanya. Pendekatan macam apalagi yang harus dicobanya? Teori siapa lagi yang harus diaplikasikannya? Bahkan sekelas Sigmund Freud saja mungkin bingung.

Tidak-tidak. Pikiran liar bodoh macam apa itu.

Apa ia panggil saja arwah Abraham Maslow untuk membantunya? Tidak nyambung.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DEANNO [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang