Pagi yang cukup dingin dengan gerimis yang setia menemani sejak subuh tadi. Dean rasanya malas bahkan hanya untuk masuk ke kamar mandi. Ibu bilang ia sudah harus siap pagi ini, tapi entah mengapa semangatnya justru hilang. Sepertinya ikut tertiup angin badai dua jam yang lalu.
Dean sudah terbiasa tinggal di rumah itu. Ia sudah nyaman mengabdi untuk keluarganya. Bekerja di luar bukanlah sebuah mimpi ataupun keinginan bagi Dean. Terpikirkan saja tidak, itulah mengapa ia malas sekali untuk bersiap.
Pikiran liar bahkan menghantuinya semalaman. Apa ayah dan ibu sudah tidak membutuhkannya lagi? Apa mereka marah sehingga ia dibuang secara perlahan seperti ini? Ataukah jangan-jangan pria asing itu yang menyebabkan segalanya?
Lima belas menit adalah waktu yang cukup bagi Dean untuk bersiap. Anak itu memang cekatan, hasil dari didikan tidak manusiawi Vina. Selanjutnya ia bergegas pergi ke bangunan utama. Yah, suka tidak suka seperti itulah perintahnya.
"Hai! Siap untuk pergi?"
Baru saja tiba di ruang tamu, sosok pria asing yang paling Dean takuti belakangan sudah duduk manis bersama ayah dan ibunya. Bahkan sepertinya pria itu sudah menunggunya sejak tadi, terlihat dari cangkir teh yang sisa setengah.
Salah tingkah, Dean berusaha menampilkan sikap ramahnya dengan menunduk. Tapi, sesaat setelahnya pria itu justru meraih tangan Dean yang dingin akibat mandi di cuaca yang tidak mendukung.
"Dean, ucapkan salam pada tuan Devan."
Mendengar titah Vina, jujur saja Dean tidak tau harus berbuat apa. Salam macam apa yang ibunya maksud? Selama ini ia tidak pernah diajarkan caranya berbasa-basi. Jangankan basa-basi, bertemu orang asing saja hampir tidak pernah. Bisa dihitung jari orang yang pernah berbincang dengan anak itu saking tertutupnya pribadi Dean.
"Tidak masalah. Kami harus segera pergi sebelum terlambat. Semua berkasnya akan kubawa, termasuk anak ini. Sesuai yang tertera di formulir, Dean bisa memilih ingin tinggal di asrama atau kembali pulang ke rumahnya selama bekerja sehari-hari. Jadi, apa kau mau tinggal di asrama, Dean?" Devan menatap bocah yang kini sudah dirangkulnya. Tampak sekali Dean yang bimbang dan ragu, membuat Devan tersenyum kecut.
"Saya, pulang ke rumah saja."
Dean yang melirik ke arah ayah dan ibunya, tentu akan menjawab seperti itu. Ia tidak bodoh untuk tidak mengerti kode mata dari kedua orang itu. Terlihat jelas baik Yudan maupun Vina tak ada yang mengizinkannya menetap di sana.
"Baik kalau begitu. Dean akan sampai di rumah selepas jam makan malam, dan akan terus seperti itu setiap harinya," ujar Devan menanggapi.
"Ah, baik tuan, kami mengerti. Mohon perlakukan Dean dengan baik, anak itu sudah seperti keluarga kami sendiri."
Devan terkikik geli mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Yudan. Tak ingin berlama-lama, ia kemudian langsung mengambil berkas di meja dan menarik Dean menuju pintu keluar. Sebuah mobil BMW hitam sudah terparkir rapi, siap mengantar Devan dan Dean menuju suatu tempat.
"Kalau begitu, kami permisi. Tidak perlu khawatir tentangnya, kami pasti perlakukan dia selayaknya manusia."
***
Di dalam mobil, Devan menemani Dean duduk di jok belakang. Sementara satu lagi sosok lelaki bermata tajam menyetir di bangku kemudi. Sudah agak jauh dari rumah, Devan sadar bahwa bocah di sampingnya itu mulai bergetar ketakutan. Kepalanya juga terus tertunduk dalam, dengan tangan yang terkepal di atas paha.
"Hai Dean, aku belum mengenalkan diri padamu, ya?"
Tak ada jawaban. Devan memperhatikan pakaian yang anak itu kenakan. Kaos hitam panjang yang warnanya sudah pudar serta agak kebesaran di tubuh, dipadukan dengan jeans biru malam yang kusam. Devan tidak tau apakah pakaian itu milik Dean sendiri atau bekas orang lain. Yang jelas, kedua benda itu pasti sudah berumur cukup lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEANNO [Hiatus]
Teen FictionIa tak dibiarkan melihat cahaya harapan barang sedetik pun. Ia hidup dalam kegelapan yang seakan tak berujung. Bukan dia yang memilih takdir, tapi takdir yang memilihnya. [BROTHERHOOD! NOT BL]