Melihat dari kejauhan

11 8 3
                                    

[H-5]

Setelah rapat di ruang organisasi itu. Mereka bertiga pergi ke rooftop sekolah. Ternyata Brayden mengajaknya untuk melihat dan menikmati awan di atas sana.

Yorch menikmati angin dengan senyumnya, Brayden mengisap sepuntung rokok di tangan kanannya. Ia bingung harus melakukannya apa, dan akhirnya memilih untuk melihat siswa siswi baru di atas sana.

Ia melihat siswi berkuncir kuda itu lagi, kali ini di ikuti dengan empat temannya. Tak lama siswi itu berlari meninggalkan temannya, ia melihat ia dengan lelaki gila itu lagi.

Brayden menghampirinya dan menepuk bahunya. "Ngapain lo, ngeliatin sampe segitunya?" Jelas itu membuatnya geli sendiri. "Itu cowok, siapa sih, namanya?" Tanyanya spontan.

"Ray, Ray Bratajaya Swarna," ucap Yorch yang ikut gabung di sebelah Brayden. "Dia anak donatur sekolah ini, anak kelas elo kan, Brayden?" Brayden hanya menganggukkan kepalanya dan kembali ke tempat awalnya.

"Lo suka ya, sama bocah tengil itu?" Tanya Yorch, yang membuat dirinya makin bingung. Jelas bingung, toh, ngapain coba, dia ngeliatin sampe segitunya, kalo enggak ada rasa?. "Enggak, kata siapa?" Jawabnya yang menjauh dari Yorch.

"Eh, Lolly, mending lo sama gue sini, ngudut" ajak Brayden. "Jangan panggil nama itu, bodoh! Nama gue sekarang Yorch bukan Lolly lagi." Kesalnya yang menuruti permintaan Brayden.

Max walaupun menjauh, Ia tetap penasaran dengan siswi kuncir kuda itu. Ia berpisah dengan mereka berdua, mereka berdua ada di sebelah kiri sedangkan dirinya di sebelah kanan sibuk memperhatikan si kuncir kuda itu.

"Jujur aja lah Elvano, Lo itu tertarik sama itu cewek kan?" Tiba tiba saja ada di sebelahnya. Ia mengangkat bahunya dan melanjutkan memperhatikan manusia itu dengan teliti. "Mau gue bantu?"

Dengan kata yang sama, awalnya menolak, bahkan Brayden sampe ikut campur dengan urusannya. Enggak si, kalo bukan karena Yorch, dia nggak bakalan mau ikut campur urusan cinta.

Tepat di awal hari mereka lulus di angkat menjadi siswa siswi sekolah tersebut. Mereka bertiga berkumpul lagi di rooftop, rencananya untuk membicarakan tutorial dapetin si kuncir kuda itu.

"Jadi gimana?" Tanyanya yang memasang tampang serius.

Yorch mengeluarkan buku catatannya dan memperlihatkan hal yang harus mereka lakukan. "Lo, gue butuh lo sebagai kambing hitam projek ini, lo pacarin salah satu temennya si cewek itu, dan cobalah korek korek informasinya" menunjuk Brayden sebagai langkah pertamanya.

"Setelah ada sela, lo baru, mulai rencana lo dengan berteman sama cowok yang di kejar si cewek, gue yakin banget, kalo cowok itu bukan lain bukan salah lagi, dia cowok yang di sukain sama si cewek itu." Dengan percaya Yorch berbicara panjang. "Gue ogah, lo tau kan gue nggak suka cewek?" Jelas Brayden.

Fak? Apa coba, beneran homo dong gue? Batin Max. Gimana coba maksudnya, segala bilang nggak suka cewek? Jadi selama ini dia diem karena dia lengkong? Padahal gayanya keren loh, Red Flag bang!.

"Udahlah, gue yakin lo bisa lakuin ini Dey, kita harus lupain jati diri kita dulu, inget, Kita, Harus, Bersikap, Normal." Yorch membujuk Brayden dengan segala caranya.

Di sisi Brayden, dia bukan belok seperti Yorch. Ia hanya merasa bahwa dirinya akan menuruni sikap dan kelakuan sang ayah, sebagai anak tunggal ia tahu betul apa yang harus ia lakukan, tak ada hal lain selain menuruti kedua orang tuanya. Brayden sendiri sering kali mendapatkan siksaan dari kedua orang tuanya hanya karena masalah sepele, hanya karena ia gagal menuruti orang tuanya.

Setelah ia nongkrong di Rainbow Cafe, ia bertemu dengan Yorch yang memiliki banyak kepribadian. Yorch juga sama dengan dirinya. Bedanya, Yorch bisa menangani semua masalah itu dan menenangkan dirinya dengan mencoba berbagai wanita yang ia sukai. Jelas tergambar di dirinya, apa yang akan terjadi kalau orang tuanya tahu bahwa anaknya tak normal? Apa akan di bunuh di waktu itu juga, atau membuangnya dan tak menganggapnya anak?.

Yorch sendiri sudah berbicara jujur pada kedua orang tuanya bahwa ia tak normal, dan menghasilkan perceraian dan ia memilih ikut dengan tetangganya dan sekarang tinggal di apartemen sendiri dari hasil ia main, dan hasil prestasinya. Jelas ortunya masih mengirimnya uang jika namanya bagus di masyarakat.

Syok! Max sangat sangat syok, mendengar latar belakang mereka berdua, membuatnya kasihan dan sedih. Jujur, Max juga tertekan oleh kehidupannya setelah mengetahui bahwa sang Ayah tak menerima kegagalan sedikit pun, ia hanya ingin berhasil dan menang. Kalaupun kalah, mau bagaimana, selain di bunuh? Kejam, karena ia keturunan keluarga yang seperti itu juga.

Ia melihat siswi yang ia sukai kali ini mengepang rambutnya. Cantik. Siswi itu membawa satu kotak coklat dan paper bag yang entah isinya apa. Menuju, lelaki itu lagi?

"RAY!! GUE SUKA SAMA LO." Teriak cewek itu tanpa rasa malu. Lelaki itu tak menjawabnya, bahkan tak menghampirinya. Ia hanya berbalik badan dan mengangkat satu alisnya dan memasang wajah datar dan pergi.

Najis, lo kira, lo cakep? Batinnya bicara. Ia langsung lari meninggalkan rooftop dan menghampiri siswi itu yang berjongkok menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Ia berdiri di hadapannya dan ikut berjongkok. "Lo nggak papa?" Tanyanya mengelus rambut siswi itu, berlagak seperti pahlawan kesiangan. "Gue malu," ucap siswi itu. Jelas malu lah, gila, momen apa ini, baru aja di terima jadi anak SMA di sekolah ini, udah ngejelekin nama sendiri. Apa abis ini bakaln pindah sekolah cuma gara gara mempermalukan diri sendiri?

"Tenang, nggak ada yang liat kok." ucapnya seraya menenangkannya. "Kalo enggak ada yang liat, kenapa lo nyamperin gue? itu berarti, lo liat gue kan?" tanyanya sambil mengangkat kepalanya.

Gimana ya jelasinnya. "Eee, gue, tadi, gak sengaja liat lo, waktu abis dari perpus, daripada lo di ejek terus terusan, ya, jadi gue samperin deh." Katanya memberi alasan palsu.

Max mengajaknya untuk pergi dari situ, dan menuju ke kantin. Ia membopongnya karena katanya kakinya kram hanya karena jongkok di tempat tadi.

Ia menyuruhnya duduk di kursi yang sudah ia pilih, lalu meninggalkannya entah kemana. "Kesan awalnya sih, baik, tapi kenapa gue di tinggalin gini!?" ucap siswi itu berbicara pada dirinya sendiri.

21 Days Theory of Love | ETINAZNATTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang