Lovid-19 | 1

50 5 12
                                    

Kapan aku sembuh dari masa depan yang terus mengeluh?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kapan aku sembuh dari masa depan yang terus mengeluh?

JANGAN lihat ke belakang. Lihat ke depan.

Ada kalanya sederet kalimat itu bermakna penuh arti, tapi kalau situasinya di tengah-tengah napas tersengal yang berusaha lari?

Adakah yang bisa membuat langkah perempuan itu berhenti?

"Tolong!"

Jangan lihat ke belakang. Lihat ke depan.

Tenang saja.

Cukup hitung satu, dua, tiga. Karena setiap langkah yang melaju cepat akan diteriakkan atas nama doa.

Tapi, kenapa rasanya hitungan tiga tidak kunjung berkuasa? Kenapa angka tiga ibarat seribu satu yang tak kunjung bermanusia?

Kalau pada akhirnya sebuah opini dipaksa menjadi fakta, mau salahkan siapa?

"Fokus, Sasha. Kamu cuma harus lari dan kamu akan selamat dari sini."

Silahkan memilah sendiri. Apakah itu fakta atau opini?

Jangan lihat ke belakang. Lihat ke depan.

Ada yang mengintip.

Ada yang mengintip sebagai tanda kutip.

"Siapa pun, tolong!" teriak perempuan itu terlalu frustrasi, bahkan sampai dia tidak sadar suaranya terseret dalam nada tinggi. "Sasha gak mau mati! Sasha gak mau mati! Sasha gak mau mati!"

Lantas kalau tidak ada yang menjawab?

Siapa yang bisa menahan air mata untuk tidak sembap?

Jangan lihat ke belakang. Lihat ke depan.

Izinkan pikirannya mendenyut nadi sampai meletus. Kakinya bergetar ketika harus melanda sungai yang berarus. Entah karena energi yang lama-lama terhapus, entah karena terlalu banyak merintis amin yang paling serius.

Tahu sensasi lari hingga kram, tapi dipaksa keadaan untuk terus menelusuri alam?

Sakit, bukan?

"Pasti ada yang akan kirim pertolongan. Pasti, Sha."

Silahkan memilah sendiri. Apakah itu fakta atau opini?

Bunyi gemerisik air mengiri langkahnya yang semakin cepat. Setidaknya pikirannya berkata begitu diiringi urat yang bersemburat.

Namun kalau realitanya dia melambat?

Sebut saja di antara sungai yang menderu, dia tidak melihat sebuah paku yang menyatu, bahwa tertusuk benda tajam itu adalah takdir yang membuat darahnya terciprat beradu.

"SAKIT!" pekiknya berirama dengan tubuhnya yang tersungkur, kesakitan tanpa alur. "Sakit..."

Jangan lihat ke belakang. Lihat ke depan.

"Tolong ...."

Jangan lihat ke belakang. Lihat ke depan.

"Siapa pun tolong ...."

Jangan lihat ke belakang. Lihat ke depan.

"Sasha takut ...."

Jangan lihat ke depan. Lihat ke belakang.

Perempuan itu bukan satu-satunya yang berdarah.

Hanya saja kedua mata sosok itu berwarna merah.

Saat itu juga, jantungnya seperti berhenti seketika.

Berusaha semaksimal mungkin untuk kabur adalah satu-satunya cara, supaya setidaknya, ada asa di balik jera.

Namun, bisa apa kalau dirinya tersesat dalam kata tidak bisa?

Apalagi ketika sosok itu melangkah. Tangan panjangnya terseret sepanjang jalan sanggup mengarah, meninggalkan jejak kemanisan darah.

Yang perempuan itu bisa lakukan hanya berteriak. Tertelan cakaran di pipi yang mengacak-acak, merasakan tempurung kepalanya berdebum dengan permukaan yang bergejolak. Belum sempat perempuan itu berlagak, kulitnya justru telah sukses diinjak-injak.

Mau tahu apa yang difinalisasi?

Tangannya menelusuri garis rahang, rahang, pipi, dan terhenti tepat di mata kiri. Jemarinya mulai menari, menimbulkan sensasi hilang pedih peri.

Bisiknya, "Takut?"

Selamat memasuki era evolusi Covid-19.

Selamat memasuki dunia penuh prihatin.

Mungkin.

Mungkin.

Masa depan tidak selalu sesuai yang kamu ingin.

To Be Continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To Be Continued

Thank you for your vote & support!

___surrealist
24/01/2024

Lovid-19Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang