Lovid-19 | 3

194 33 8
                                    

Salah satu pilihan yang mengantarkan dirimu ke sakit yang tidak berdarah sama seperti rumitnya hubungan kita yang tidak berarah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Salah satu pilihan yang mengantarkan dirimu ke sakit yang tidak berdarah sama seperti rumitnya hubungan kita yang tidak berarah.

"ANJING, babi, bangsat, tai, bego."

Sederet kalimat ajaib itu berasal dari bibir seorang lelaki yang sedang menepi, dengan puntung rokok senantiasa dihisapi.

Latar belakangnya sederhana untuk mengawali, di mana lagi selain di parkiran kampus yang dekat dengan kantin secara lokasi?

"Nyet, ada kata kotor lain gak? Mau gue borong, nih," sambungnya lagi. Kalau boleh memperkenalkan diri, dialah Satria yang hobinya tidak lain mencaci maki.

Afif di sebelahnya terpaksa hadir dengan bibir terkulum, diiringi tangan yang daritadi mengusap dada maklum, "Astagfirullahalazim ... Sesungguhnya menurut surat An-Nisa ayat 148, kita dilara―"

"Bacot, Pip. Noh, salahin fansnya Ranji! Ngejar gue udah kayak setan berjamaah."

Ranji terpaksa melirik saat ini, melontarkan kalimat sepanas api, "Kan imam jamaahnya lo."

"Anji―"

Afif cepat-cepat membungkam mulut Satria, sekuat tenaga, "Sabar, Sat. Sabar disayang Allah."

"Et, gini, Pip. Ranji yang bacotin Arisha di kantin, malah gue yang ditanya-tanyain. Dipikir gue bapaknya kali? Bacotnya mereka seviral Lovid-19, anjrit," Satria menepis tangan Afif, tatapannya terpantau agresif. "Woi, ada kata kotor lain gak, nih? Mulut gue gatel. Asli."

"Nggak," cetus Ranji. "Lo udah cukup kotor, Sat."

"Dih. Nggak fansnya, nggak idolanya, sama-sama bangsat."

"Ck, bangsat ngata bangsat."

"Et, gue gak—"

"Coba sebut nama lengkap lo," sela Ranji.

"Sabang Satria."

Seolah sedang syuting di drama korea, Afif memekik luar biasa, "Masha Allah. Baru nyadar gue."

"Hah, nyadar apaan?" biarkan Satria memandang Ranji dan Afif bergantian, dengan kening dihiasi kerutan. "Et, dah. Kasih tau gue buru!"

Afif menghela napas, penuh peringatan ketika menggagas, "Makanya solat biar ngerti, Sat."

"Kampret, gak usah sok agamis lo, Pip. Main coblos sana-sini aja belagu."

Bukannya malu, Afif malah tersenyum sumringah tanpa ragu. Yang menciptakan efek mual tanpa ditunggu-tunggu.

Setiap hari, setiap hati bernurani, ketiga insan itu selalu saja berargumentasi. Memicu kehebohan lebih dari sekadar sana-sini.

Namun, anehnya itulah yang menjadi sebuah kombinasi, bagaimana cerita mereka diakhiri atas nama pertemanan yang saling melengkapi.

Lovid-19Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang