Lovid-19 | 4

163 31 7
                                    

Tidak seorang pun ditakdirkan menjadi sempurna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak seorang pun ditakdirkan menjadi sempurna. Tetapi untukmu, aku rela berpura-pura menjadi salah satunya.

BEGITU melangkah ke rooftop, akan klise untuk mengawali dengan alkisah, tetapi bukankah kita diharuskan memilah?

Yang kita ekspektasikan seharusnya sederhana.

Tapi bagi Arisha, ini di luar rencana.

Lampu disko menjadi objek yang pertama kali tertangkap indra penglihatannya, asap rokok mengepul di udara, menghancurkan penciuman hidung tanpa bisa siapa pun kuasa, sampai pada akhirnya elemen manusia berpadu dengan betapa neonnya cakrawala, menepi pada halusinasi yang begitu nyata.

Belum lagi kumpulan nyawa yang berdansa, berlenggak-lenggok seenaknya, memamerkan lekak-lekuk menggoda.

Sorot cahaya di sini kental dengan warna biru dan ungu. Seperti perpaduan spektrum yang siap dipandu. Atas nama futuristik yang berteriak dirgahayu.

Hanya saja tubuh Arisha mendadak terkunci.

Sudah berapa kali ia berimajinasi seperti ini?

Terakhir kali, imajinasinya hadir di kantin bagaikan distorsi, mengganggu pikirannya tanpa bisa ia kendali.

Apakah justru ia bermimpi?

Di tengah musik elektrik yang beresonansi dengan liar, suara-suara di sekitarnya justru terdengar samar, seperti diam-diam menyamar, agar fokus Arisha berhasil terdampar.

Pada sesosok lelaki yang tersenyum lebar.

Bila rokok bisa berubah menjadi suara, maka itulah suara miliknya, serak candu yang tenangnya penuh makna, "Arisha."

"Lo siapa?"

Lelaki itu bukannya menjawab pertanyaan Arisha, malah beringsut mendekat secepatnya, menyisakan Arisha tersentak sekagetnya, seumpama dibelenggu rantai tak kasat mata.

"Lo siapa?!"

Tangan kokoh miliknya merupakan awal tujuan, bagaimana sekarang Arisha gelagapan, karena pakaiannya telah sukses dirobekkan.

"Arisha ...." bisikannya terseret mendekat.

Mendekat.

Terlalu dekat.

"Tolo―"

"Sha?"

Arisha membuka mata.

Dia berada di rooftop kampusnya.

Sepi.

Menengok ke kanan dan ke kiri, ke mana pesta manusiawi yang tengah berlupa diri?

Tidak seperti ini.

Lovid-19Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang