Ch. 10 - Keluarga Tuinstra

4 2 0
                                    

SABTU, 26 MEI 2018 - AUDRIANNE UTAMI

Sebentar lagi aku memasuki minggu ketiga untuk tinggal di negara kincir angin ini. Aku masih berada di Giethoorn bersama dengan ibuku hingga waktu yang tak tentu. Shen juga mulai membantuku untuk mengurus visa jangka panjang agar aku dapat tinggal lebih dari sembilan puluh hari.

Disini aku telah menjadi pegawai tetap dari Tuinstra Flower, toko bunga milik ibu yang ia kelola sendiri di Bloemenmrkt, Amsterdam. Ia cukup terkejut saat aku mengajukan diri untuk membantu mengelola toko. Sedikit bercerita padanya bahwa di Indonesia pun aku juga memiliki pekerjaan yang sama.

Mungkin itu yang dinamakan dengan buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Kami berdua saling menyukai bunga hingga pada akhirnya secara tidak sengaja sama-sama membuka toko bunga sebagai mata pencaharian kami.

Tentu saja ibuku menilai terlebih dahulu bagaimana caraku bekerja dalam hal melayani para pembeli, mengerti nama serta detail setiap bunga, dan juga cara merangkai buket bunga berdasarkan pesanan yang ada.

Melihatku yang dapat bekerja secara profesional, ibu tinggal mengajariku sedikit tentang sistem keuangan yang telah berjalan hingga memperkenalkanku pada para supplier.

Ternyata tante Bel, nama yang sudah tenar di antara para pelanggan, telah dipercaya untuk menangani projek-projek besar maupun kecil seperti acara ulang tahun, acara korporat termasuk acara pernikahan.

Diam-diam ibu telah menyembunyikan sebuah tim khusus yang ia bentuk untuk melayani acara-acara semacam itu. Faktanya mereka menggunakan unit apartemen lama milik ibu, yang gedungnya dikelola oleh grandpa Paul, sebagai kantor.

'Kau harus berkembang dengan menggunakan peluang yang ada.' Begitulah kata ibu sambil menerangkan sedikit tentang tim yang ia miliki ini. 'Tapi ini juga merupakan salah satu bentuk upaya agar diriku menjadi sibuk dan terhindar dari pemikiran tentang masa lalu.'

Sama halnya dengan ibu, demi menghindar dari Yoga, aku pun telah melakukan banyak cara untuk mempersibuk diri sendiri sampai-sampai aku memutuskan untuk kabur dari Indonesia. Entah berapa lama lagi waktu yang kuperlukan agar aku dapat berdamai dengan hatiku untuk membuka lembaran baru pada cerita cinta berikutnya.

Malam ini adalah malam yang spesial. Sejak siang, Anne dan Belinda begitu sibuk mempersiapkan acara makan malam bersama dengan keluarga Paul yang akan berkunjung ke Giethoorn sini.

Mulai dari membersihkan area rumah, berbelanja banyak bahan lalu memasak beberapa macam makanan hingga menghias meja makan dengan bunga-bunga segar yang mereka petik dari taman belakang rumah, hasil jerih payah Belinda yang menanam serta merawatnya selama bertahun-tahun.

"Lauk. Piring. Gelas. Satu, dua, tiga. . ." Untuk kesekian kalinya Belinda sibuk menghitung dengan jari jemari segala yang telah ia persiapkan.

"Ibu tenang saja. Semuanya sudah lengkap," potong Anne karena kesal melihat perilaku ibunya yang perfeksionis. Ternyata kebiasaan ini juga masih sama dengan yang dulu.

Dengan pelan ia mendorong tubuh Belinda berjalan mendekati sofa. "Ibu duduk yang tenang disini sambil menunggu mereka datang."

Tepat setelah kalimat Anne terucap, tiba-tiba saja pintu rumah terbuka lebar dengan Paul yang masuk terlebih dahulu sambil berseru, "Hoi Bel! We zijn hier (Hai Bel! Kita sudah sampai!)"

"Hoi oom Paul! Welkom thuis! Hoe is je reis? (Hai om Paul! Selamat datang! Bagaimana perjalananmu?)" Belinda segera beranjak dari sofa untuk menyambutnya lalu mencium pipi kiri dan kanan Paul secara bergantian. Anne membuntutinya dari belakang lalu berdiri berdampingan dengan sang ibu.

Edelweiss & Mustang Merah (Passing By Vol. 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang