Ch. 16 - Keputusanku

10 1 0
                                    

Setelah mengantarkan Yoga ke bandara, Finn ganti mengantarku pulang ke Giethoorn. Dalam taksi aku hanya dapat duduk diam sambil termenung, masih memikirkan lamaran yang datangnya bagai pencuri.

Tak kusangka akan kulihat dirinya dengan tak segan berlutut di hadapanku, menyodorkan cincin lama yang pernah aku kenakan, mengajak untuk hidup bersama kembali.

Kemana perginya Yoga yang selalu bersikap egois layaknya seorang anak kecil? Menjadi seorang pemabuk akibat cinta buntu setelah menikah denganku?

Apakah kesendiriannya yang dialami selama beberapa bulan ini telah mendewasakan sikap hati? Lalu bagaimana denganku? Apa yang telah berubah dariku? Masih menjadi seorang bernyali kecil.

"Aku pulang," ucap Anne pada rumah kediaman milik sang ibu.

"Cepat sekali. Yoga juga ikut?" tanya Belinda dari arah dapur dengan suara kencang. Ia sedang sibuk memasak makan malam. Aromanya memenuhi seisi rumah.

"Sudah di bandara. Malam ini Yoga kembali ke Indonesia. Ibunya sakit," jelas Anne tanpa bertele-tele.

"Sakit apa? Parah tidak?"

"Tidak."

"Syukurlah kalau begitu." Belinda berkata dengan lega. "Tunggu ya. Sebentar lagi makanannya jadi."

"Aku tidak lapar. Mau tidur saja." Anne enggan membahas apa yang terjadi dengan Yoga tadi siang.

Lebih baik menghindar, masuk kamar lalu memejamkan mata hingga pagi dengan harapan bahwa semuanya baik-baik saja dan akan kembali normal seperti biasa.

Kurang lebih seperti itu yang Anne inginkan sementara ini. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Ia tidak dapat tidur tenang. Membolak balikkan tubuh juga tak ada guna. Pikirannya terus melayang dengan peristiwa di siang hari.

Kedua kaki turun dari atas ranjang lalu melangkah, menyalakan kembali lampu kamar. Kini ia terduduk lesu di atas meja kerja, tak tau apa yang harus diperbuatnya.

Sambil bertopang dagu, diamatinya mainan mustang merah yang senantiasa menemani di atas meja itu dengan seksama.

"Apa kau ingat kenapa aku diam-diam membawamu pergi jauh bersamaku?" Anne mulai mengoceh sendiri pada benda mati. Ia menerima kesunyian yang ada.

"Kau itu sebagai pelepas rindu," terangnya. Walaupun terpisah oleh jarak, tetap saja dapat terobati oleh satu benda kecil itu.

Hati yang telah tertata rapi tanpa merindukan sosoknya merupakan salah satu kebohongan agar ia tidak jatuh semakin dalam.

Berdusta jika Anne merasa dapat melupakan dengan mudah seorang yang dicintainya itu jika setiap hari ia selalu menatap lama mustang merah sebelum dirinya menghentikan segala aktivitas di malam hari.

"Katanya benda kesayangan tapi majikanmu saja tidak tau kalau kau hilang."

Hening sejenak.

Anne menghembuskan nafas panjang lalu kembali berkata, "Kira-kira kalau aku bersama dengannya dalam waktu lama, aku dilupakan juga tidak ya?"

"Kalau pemilikmu itu tidak datang mencariku, apa aku akan jadi lebih sedih?"

Tok. . Tok. .

Suara pelan dari ketuk pintu yang terdengar secara tiba-tiba membuat sang wanita menjadi sedikit terperanjat. Terlena dalam obrolan kosong.

"Masuk saja. Kamarnya tidak terkunci," balas Anne dari dalam.

Kepala Belinda menyembul dari balik pintu. "Kau sedang apa?"

Anaknya menunjuk dengan dagu mustang merah temannya itu. "Sedang berbicara dengannya." Ia tidak malu untuk berterus terang.

"Kau ini karena tidak makan malah jadi tidak waras," ejek sang ibu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Edelweiss & Mustang Merah (Passing By Vol. 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang